9.1 Azalia: Ingatan dari jauh hari

59 8 5
                                    

Entah di selang waktu kapan. Ketika ingatan paling jauh dapat kuterka dengan mata dan telingaku sendiri. Sebuah ingatan di kala rerumputan begitu menggelitik di kala semi dan salju begitu kejinya menusuk di akhir tahun. Masa-masa di mana aku bukan lah dewi yang dipuji-puji kaum pagan atau pun gagak yang membawa kabar sedih pada kakek di depan perapian. Saat aku tidak lebih dari seorang anak perempuan yang banyak menuntut. Hanya biji gandum biasa yang belum ranum, menunduk ke tanah.


Aku memiliki ingatan di desa Rodra. Ingatan yang dapat membuatku menghabiskan sebagian besar hari hanya untuk menceritakannya.

Terlepas dari aku yang bukan siapa-siapa di sana, itu semua berbanding cerita dengan seorang wanita yang sesekali membawaku ke sana untuk melihat ladang gandum dan kentang.

Ya, mungkin dia lah yang orang sebut sebagai ibu dari aku. Tapi, sekali pun dia tidak pernah menyebut dirinya seperti itu. Aku pun tidak memanggilnya demikian. Meski begitu, aku tahu rasa hangat yang dibaginya itu lebih dari cukup untukku memanggilnya ibu. Walau tanpa sepengetahuannya.

Tidak setiap hari aku dibawa ke desa. Untuk lebih tepatnya, tidak hanya Rodra tempat wanita itu membawaku. Sebagian tempat memiliki ceritanya masing-masing, tapi untuk tanah di mana gandum menjadi pengikat hubungan orang-orang di satu tempat. Aku tidak bisa membayangkan yang lebih baik dari tanah kelahiranmu itu.

Mungkin karena aku tengah bicara denganmu, atau karena festival panen di musim gugur itu, atau karena ingatanku yang terus mengarah pada desa kecil di antara pemukiman para Elf. Sepanjang umurku, Rodra selalu menjadi sesuatu yang istimewa.

Aku masih ingat ketika berlari-lari dengan sembarang anak di sana, di antara ladang gandum yang kala itu menelan kami hingga satu pundak. Tidak ingat apa yang kami mainkan, tapi kami memainkannya berulang-ulang kali.

Aku pun ingat ketika orang-orang berkumpul di rumah seorang nenek dan menyulangkan anggur mereka tinggi-tinggi, merayakan sesuatu yang sebenarnya tidak beralasan. Hanya untuk mewarnai hari-hari sunyi di kehidupan nenek itu. Dan kami anak-anak pun hanya membuat masalah dengan kenakalan kami.

Yang aku tahu, nenek itu telah lama hidup sendiri setelah sepeninggalan suaminya suata kala di antara perseteruan manusia dan Elf. Semenjak itu, orang-orang hanya dapat mengisi kekosongannya dengan datang membawa roti atau anggur untuk mereka makan sendiri, sekadar alasan untuk menemani.

Mati dalam keadaan sendiri pastinya menyedihkan. Sehingga hari-hari terakhir nenek itu pasti begitu bahagia.

Aku tahu bagaimana rasanya harus menanggung segalanya seorang diri. Setelah musim panas berakhir di usiaku yang wanita itu bilang telah mencapai batasnya. Dia bilang aku tidak akan bertambah lebih tinggi lagi dari ini. Seraya tersenyum dan sesekali terkekeh di atas ranjangnya, lalu meninggalkan aku seperti nenek di Rodra.

Wanita itu pun pergi dengan senyum. Tinggal aku yang tersisa.

Aku masih memiliki banyak waktu hingga aku bisa pergi dengan bahagia seperti wanita itu dan nenek di Rodra. Cerita gembira dari gereja yang sering kali aku dengar pun mengabarkan tentang cinta dan kasih yang murni.

Bukan hanya sebatas terhubung antara wanita dan pria. Tapi, antara Tuhan dan ciptaan-Nya, antara ciptaan-Nya dan alam tempat ciptaan-Nya lahir, antara makhluk hidup dengan tanah yang menjanjikan.

Kisah gembira itu yang membuatku bertahan. Bertengger di antara pepohonan di barat desa Rodra, tidak menunggu siapapun. Akan tetapi, akan menyambut siapapun yang datang dengan lembut.

Musim pun silih berganti bersama hari-hari yang tidak lebih dari perulangan kemarin hari. Untuk membunuh bosan, terkadang aku bertengger di pundak pagar rumah atau sekadar mengais biji gandum dan daging mentah yang kalian buang.

Baru lah, di salah satu hari yang suntuk itu, api berkobar dan bau amis menarik kumpulan gagak dan tikus ke desa yang selama ini aku jaga dengan kasih.

Satu-satunya yang masih berdiri di sana, hanya lah seorang amatir dan busur panahnya. Dia terus meneriakan amarah hingga seperti ingin merobek tenggoroknya sendiri. Menyuarakan apa yang ia pendam. Dari kehilangan besar yang ia dapat.

Benar. Itu lah kamu, Louise.

***

Aku tidak bercerita tentang semuanya. Suasana di antara aku dan Louise terlalu banyak meraup hatiku untuk merasa canggung dan malu akan kata-kata yang aku utarakan sendiri.

Tentang teriakannya dan tentang bagaimana aku begitu tahu tentang desa Rodra, aku tidak sanggup menceritakannya pada Louise. Dan pada akhirnya, hanya dapat meringisi sesuatu secara berputar-putar. Aku hampir merasa itu bukan seperti diriku.

Pundaknya yang kokoh itu pun aku jauhi perlahan seraya mengayunkan pandang pada lelaki itu. Sorot matanya yang tidak mengarah langsung ke mata, namun cermat melihat seisi wujudku kala itu menjelaskan bagaimana ia bisa menjadi laki-laki yang sama sekali tidak peka.

Aku mungkin terlalu banyak berharap darinya. Tapi, aku tidak menyesal akan itu.

Pukulan kecil pun aku berikan padanya tanpa alasan khusus. Dia pun terlihat meringis kesakitan karenanya. Pemandangan yang cukup untuk mengisi senang dalam ruanh hatiku.

"Cukup. Kamu sudah melihat sisiku ini." Hidungku masih sedikit terisak, sehingga aku mengusapnya bersama bekas air mataku. "Memalukan, tapi aku pun sudah pasrah. Kamu dan laki-laki lain itu makhluk yang tidak pandai membaca isi hati wanita. Jadi... Aku begini."

Louise terlihat menurunkan alisnya dan tersenyum tipis. "Sudah aku bilang, kita bahkan baru saling tahu beberapa hari terakhir."

Dengan seenaknya ia memainkan pucuk kelalaku. Jemari yang begitu besar dan keras itu terasa begitu kasar memperlakukan aku, tapi begitu nyaman dan menenangkan ketika tiap helai rambutku disibaknya.

Sebagian dariku pun terkejut akan perasaan itu. "Jadi kamu pikir dengan mengenalku lebih lama, kamu akan lebih pandai membaca isi hati wanita?"

"Setidaknya aku lebih tahu soal kamu dibandingkan laki-laki lain."

Kalimat seperti itu yang membuatku lemah. Langsung saja aku mendorong Louise jauh-jauh dan melompat kembali ke ranjangku. "Keras kepala."

"Mendengar itu, rasanya bukan seperti aku saja."

"Tidak. Percaya lah padaku. Kalimat itu erat melekat dengan dirimu."

"Dari mana kamu tahu?"

Aku hanya mengangkat bahu seraya menyelimutkan diri. Kemudian merentangkan tubuh di ranjang, sebelum sepenuhnya terlelap membelakangi Louise.

Laki-laki yang menarik perhatianku untuk pertama kalinya, selepas dirinya tertunduk di atas debu ilalang yang terbakar. Menatap kosong tanah tempat ia biasa berlari-lari mengejar seorang anak perempuan di antara ladang gandum.

Membawa rindu dan sedih, pada seekor gagak yang kebetulan bertengger di sana.

Land of PromisingWhere stories live. Discover now