3rd: Puisi di kala perang

173 34 46
                                    

Soles adalah kemarin. Berlalu dengan cara paling hikmat yang tidak dia duga. Sebuah hari penuh kehangatan dari secangkir anggur, tawa yang menguras perut, dan tumpukan jerami di sel penjara yang dingin. Sungguh, jika dikatakan oleh pemuka agama tentang kebahagian berasal dari kesederhanaan, maka bukti nyatanya adalah hari itu juga. Ketika Louise masih bergurau dengan teman-teman barunya.

Rales datang begitu cepat. Hari yang dikabarkan akan menjadi kemungkinan terakhir kali Louise berkeluh kesah tentang teriknya sinar mentari.

Tanpa adanya awan, pagi sekali pun terasa begitu menyengat. Seperti berdiri di tengah gurun di selatan, mencari oase terdekat yang hanya fatamorgana.

Dia tahu, ini akan menjadi hari terburuk untuknya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari mati di bawah terik matahari pagi, di tangan seorang anak manusia, dan disorak-soraikan para Elf yang menyaksikan. Menjadi bukti nyata, jika manusia bukanlah seperti yang mereka kira.

Akan tetapi, kira-kira seperti apa rasanya mati itu?

"Tolong lah kak..." Anak yang mengenakan zirah lengkap itu meminta dengan nada yang amat pilu. "Untukku... Untuk ibuku... Kakak prajurit kan? Kalau pun kakak... Kalau pun kakak... "

Louise menggelengkan kepalanya seraya tersenyum masam pada anak itu. "Aku... Sudah tidak memiliki ibu. Kewajibanku hanya sebagai prajurit. Tak lagi sebagai anak."

"Kalau begitu..."

Dia benar-benar tidak bisa melanjutkan omongannya. Meminta Louise untuk mati, atas dasar kepercayaan manusia tentang kasih ibu dan cinta Tuhan. Alasan paling indah untuk mati, sekalipun dalam keadaan paling memalukan.

Tidak ada alasan bagi Louise untuk menolak, jika dia memang pengikut beriman dari desa Rodra. Hanya takut yang membatasi, sisanya hanya perlu dorongan. Namun tetap saja, dengan semua alasan itu, mengapa anak itu tetap tidak sanggup untuk meminta Louise mati dengan hormat? Apa karena mati itu sendiri adalah bentuk paling keji untuk diminta? Atau itulah bentuk perasaan manusiawi yang anak itu rasakan?

Cukup lama mereka saling diam. Agaknya, membuat para penonton mulai bosan. Kepala gereja pun mulai lelah. Kemudian, dengan otoritasnya sebagai orang tertinggi di sana, ia minta agar Naga Ekor Palu itu kembali dibawa masuk.

Louise dan anak itu tidak sadar sampai suara gerbang terbuka menggapai telinga mereka. Aroma amis dari darah yang masih segar perlahan tercium, bersama dengan bau daging yang terbakar.

Radeem, dari balik gerbang tempat Louise masuk berusaha meneriakan sesuatu. Namun, saat itu juga hanya mati yang terus terlintas di semua indra Louise. Sensasi ketika kulit hangus terbakar dan daging terkoyak oleh puluhan gigi seukuran belati. Pun dia akan menjadi seperti dua orang sebelumnya.

"... Man...!" Samar-samar suara Radeem terdengar.

Langkah perlahan dari Naga itu lebih banyak menarik perhatian Louise.

"... N'asman..." Terus terlintas dan semakin jelas. Hingga anak berzirah itu menampar wajah Louise dan menyadarkannya.

"Hah?!" Ia terkejut, dan sontak mengalihkan pandang pada Radeem.

"N'ASMAN MENYERANG BALIK!!!" Tepat saat Radeem berteriak seperti itu, sang Naga melompat dan hendak menerkam Louise serta si anak.

Respon Louise pun begitu cepat dengan langsung melindungi anak itu dengan tubunya. Reaksi spontan itu bukannya tidak berbuah hasil. Pun, jika ia yang terkoyak kemungkinannya anak itu pun ikut serta.

Faktor luar yang membuatnya tetap bisa bernafas. Suara erangan kecang dari sang Naga beserta tubrukan yamg hampir membuat telinga keduanya pecah. Batu besar yang diminyaki dan disulut api terlempar tepat ke arah Naga itu dan melubangi perutnya.

Land of PromisingWhere stories live. Discover now