[ 2 6 ]

364 72 12
                                    

"Hatsyi!"

Biru sedikit tersentak mendengar Sam bersin, entah sudah yang ke berapa kalinya.

Kini mereka berada di teras depan indekos Sam, duduk bersebelahan di kursi kayu panjang. Tadinya Biru hendak pulang, tapi rupanya langit masih belum menghentikan tangisannya. Biru bisa-bisa saja nekat menerobos hujan seperti yang dilakukannya dari kampus tadi. Tapi Sam bersikeras menyuruh Biru untuk menunggu--setidaknya sampai hujan sedikit mereda.

"Udah dibilangin lo nggak usah nungguin gue di sini, Sam," ujar Biru pada Sam yang tengah mengusap hidungnya yang sedikit memerah. "Lo kan masih sakit. Masuk aja sana."

Sam menggeleng seraya merapatkan jaketnya. "Nggak," tegasnya. "Mana bisa gue biarin lo di sini sendiri. Anak kos yang lain banyak yang belum pulang. Bisa aja mereka gangguin lo kalo liat lo di sini sendirian pas pada nyampe nanti."

"Kan belum tentu juga pada gitu, sih?"

"Pokoknya gue tungguin lo di sini."

Biru berdecak sebal. "Ya ya, terserah lah," balas cewek itu acuh tak acuh. Kemudian ia menghela napasnya sembari memperhatikan banyaknya tetesan air yang jatuh ke bumi. "Kalo nggak reda juga, gue terpaksa hujan-hujanan lagi, deh."

"Dih, lo mau ikut-ikutan sakit kayak gue?"

"Ya masa gue harus nginep di sini? Gila aja kali."

"Ya nggak papa kalo nggak ada yang ta--aduh!" Sam mengaduh keras karena mendapat tabokan dahsyat dari Biru di bahu kanannya. Ia pun mengusap bekas kejahatan cewek itu sambil meringis pelan. "Becanda doang Bi, nggak perlu pake tabok segala kali. Sakit, nih."

"Bodo," dengus Biru.

Kemudian keduanya terdiam dengan suara hujan yang menjadi lagu latar. Beberapa detik terlewati, Biru menguap lebar dengan satu tangan menutupi mulut. Rasa kantuk yang berusaha ia tahan sejak tadi kembali muncul. Kalau sudah seperti ini rasanya Biru ingin cepat-cepat sampai ke kos untuk menemui kasurnya. Sial sekali hujan menjadi penghambatnya kali ini.

Sam melirik Biru dari ekor matanya. Kasihan juga melihat Biru sudah hujan-hujanan hanya untuk menjenguknya, lalu terjebak hujan dan tidak bisa segera pulang ke kosnya sendiri. Wajahnya sudah tampak lelah. Matanya sedikit berair. Cewek itu pasti mengantuk.

Kembali melihat ke depan, Sam mengembuskan napas panjang-panjang. Lalu tiba-tiba saja ia merasa bahu kanannya memberat. Tubuhnya kontan menegang saat mendapati Biru menyandarkan kepalanya di sana dengan nyaman. Jantung Sam langsung berdentum keras, dan ia harap Biru tidak dapat mendengarnya.

"Pinjem bahu lo ya, Sam," kata Biru dengan mata terpejam. "Ngantuk banget gue."

Sam menengok, meski yang dapat ia lihat hanyalah puncak kepala Biru. "Nggak mau tidur di kamar gue dulu? Nanti gue bisa numpang ke kamar yang lain. Kalo udah reda, gue bangunin. Gue anterin sekalian."

Biru menggeleng. "Nggak usah, Sam. Paling gue merem bentar doang." Dan beberapa sekon setelahnya, suara Biru benar-benar tidak terdengar lagi. Bahunya bergerak naik turun dengan napas yang teratur.

Biru benar-benar tertidur. Di bahu Sam. Dan jangan tanya bagaimana keadaan jantung Sam saat ini. Sungguh, sepertinya hanya semakin menggila saja.

Sam mengepalkan kedua tangannya yang berada di atas paha. Rasanya ingin sekali menggerakkan salah satunya untuk mengelus kepala Biru. Namun Sam tahu hal itu hanya akan mengganggu tidur cewek itu saja. Lagipula, Sam tidak mau lagi melakukan sesuatu yang dapat melewati batas seperti saat ia memeluk Biru. Sam tidak mau Biru merasa tidak nyaman dan kembali menjaga jarak dengannya, meskipun Biru sendiri sudah mengatakan kalau tindakan Sam bukanlah sebuah kesalahan.

Namun entah mengapa Sam merasa Biru tidak sepenuhnya jujur. Kalau bukan salah Sam, lantas kenapa Biru sampai harus bersikap seperti itu?

"Sam."

Sam sedikit tersentak, tidak sadar bahwa Biru sudah kembali terjaga. Entah karena Sam terlalu lama larut dalam pikirannya sendiri, atau Biru memang hanya terpejam sebentar saja sesuai dengan perkataannya.

"Kata Ghea, lo waktu itu pernah nggak sengaja liat foto gue sama Angkasa di meja belajar gue?" lanjut Biru. "Terus habis itu lo nanya-nanya ke Ghea, cowok di foto itu pacar gue atau bukan." Biru terkekeh, Sam ikut merasakan getaran di bahunya. "Kenapa nggak nanya langsung ke gue aja, sih? Kayak ke siapa aja lo."

Sial, ember banget mulut lo, Ghe, Sam mengumpat dalam hati. Dan tentu ia tak menyangka Biru akan mengatakan itu semua padanya. Ia pun meringis pelan. "Itu ... habisnya lo kan nggak pernah cerita-cerita soal masalah percintaan lo ke gue," jelas Sam. "Jadi gue kira lo menganggap hal itu sebagai privasi lo, makanya gue rasa gue nggak bisa nanyain itu langsung ke lo."

Biru manggut-manggut, lalu mengangkat kepala dari bahu Sam. Ia menengok pada cowok itu dan pandangan mereka segera menyapa satu sama lain. "Sekarang lo udah tau 'kan, kenapa gue nggak pernah ceritain masalah percintaan atau apalah itu ke lo?" tanyanya dengan senyum masam. "Dan habis itu, Angkasa emang yang terakhir. Nggak ada yang bisa gue ceritain ke lo."

"Hm, kalo tentang cowok yang lo suka?" Sam bertanya dengan nada biasa, tanpa Biru tahu bahwa sesungguhnya berat untuk melakukan itu.

Bukannya langsung menjawab, Biru malah memutuskan pandangan mereka. Lalu cewek itu menghela napas. "Gue takut buat buka hati gue lagi, Sam," lirihnya. "Gue takut akhirnya akan sama lagi kayak gue sama Angkasa. Itu makanya gue nyuruh lo berhenti ngenalin temen-temen lo ke gue karena itu emang nggak berguna sama sekali. Gue nggak bisa semudah itu buat jatuh cinta lagi. Tapi...."

Mendengar Biru tak kunjung melanjutkan, Sam pun bertanya dengan hati-hati, "Tapi apa, Bi?"

Biru kembali menoleh pada Sam dengan raut yang rumit untuk dibaca. Tapi sekarang gue justru mulai jatuh cinta sama lo, Sam. Itu. Seharusnya kalimat itu yang terlontar dari bibir Biru, tapi rupanya ini jauh lebih sulit dari yang Biru bayangkan. Dan Biru tidak mau gegabah dalam mengambil tindakan. Biru belum siap untuk menyaksikan reaksi Sam nantinya. Biru belum siap dengan perubahan yang akan terjadi antara dirinya dengan Sam. Biru pun belum siap patah hati untuk yang kedua kalinya.

"Tapi mungkin gue bisa ... setelah gue yakin gue siap nerima resiko dari jatuh cinta lagi." Pada akhirnya, hanya jawaban itu yang bisa Biru berikan pada Sam.

Sam tertegun di tempatnya. Penuturan Biru membuatnya seolah ditampar oleh kenyataan, bahwa ia tidak bisa semudah itu menyatakan perasaannya pada Biru. Ia tidak bisa semudah itu menjadikan Biru miliknya. Dan ia harus bertahan dalam zona sialan ini jika tidak ingin kehilangan Biru segera. Setidaknya sampai tiba pada waktu di mana semesta bersedia mengizinkan mereka untuk bersama.

Senyum kecut Sam terpatri.

Pada akhirnya, semua kata yang sudah ia susun sedemikian rupa dalam kepala takkan pernah tersampaikan hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.

- - -

hehe aku update pagi2 karena mau double up hari ini. tungguin last chapter-nya nanti malem yak!!

(10 agustus 2020)

Unsaid Words [END]Where stories live. Discover now