[ 1 4 ]

357 77 4
                                    

"Sam, denger-denger lo lagi deket sama Selina anak kelas C, ya?"

Pertanyaan itu datang dari mulut Chandra, salah satu teman dari perkumpulan Sam yang paling akrab dengannya. Saat ini ia dan Chandra tengah melipir sebentar ke kantin sebelum masuk ke mata kuliah selanjutnya yang akan dimulai sekitar lima belas menit lagi. Sepiring gorengan telah tandas di hadapan mereka. Yang tersisa tinggallah dua gelas kopi yang sudah tidak penuh lagi.

Meneguk sejenak kopi susu yang dipesannya, Sam memandang Chandra bingung. "Deket gimana? Perasaan biasa-biasa aja."

"Ya itu, doi jadi suka nyapa lo kalo papasan di mana pun. Kadang juga suka nungguin lo beres kelas buat ngobrol sama lo. Oh, atau cuma Selina yang berusaha deket sama lo?"

Sam mengedikkan bahu. "Ya mana gue tau, gue kan bukan Selina? Dan gue cuma berusaha bersikap sewajarnya aja, karena dia temen deketnya Biru juga."

"Ah iya, lupa gue sama tuh anak," kekeh Chandra. "Alamat bakal bernasib sama sih si Selina kayak yang dulu-dulu. Udah minder duluan liat lo nempel mulu sama cewek modelan Biru. Yang cantik aja cuma dijadiin temen, gimana yang b aja?"

"Apa sih, anjir," Sam tergelak sesaat. "Kenapa kesannya kayak gue nge-friendzone-in Biru? Kayak dia suka aja sama gue."

"Bisa aja, Sam. Siapa yang tau?"

Sam mengibaskan tangannya. " Ah, nggak tau lah." Cowok itu menandaskan kopinya sebelum bingkas dari kursi dan beranjak menuju kios untuk membayar. Kemudian ia mengajak Chandra untuk segera kembali ke kelas, meski sesungguhnya masih tersisa sepuluh menit lagi.

Tanpa Chandra tahu, Sam hanya ingin menghindari pembahasan tentang perasaan, siapa yang menyukai siapa, friendzone, dan semacamnya dengan dirinya dan Biru sebagai objek. Hal ini sudah sering terjadi bahkan sejak awal semester. Dan kalau boleh jujur, Sam selalu merasa tidak nyaman. Orang-orang itu terlalu sibuk mengurusi pertemanannya dengan Biru yang--katanya--tampak tidak wajar di mata mereka.

Sam meyakini masing-masing dari dirinya dan Biru tahu mengenai perasaan yang tersimpan untuk satu sama lain, meski Sam sendiri tidak tahu persis bentuknya seperti apa.

Yang jelas, biar hanya diri mereka sendiri dan Tuhan yang tahu akan hal itu.

.

.

.

"Baik, diskusi hari ini kita cukupkan sampai di sini. Minggu depan bisa dilanjut dengan pembahasan dari kelompok berikutnya."

Dengan kalimat tersebut--ditambah dengan salam penutup di ujung--maka berakhirlah kegiatan perkuliahan ini. Wajah-wajah yang semula tampak kusut langsung berubah cerah. Dengan semangat yang mendadak muncul di akhir waktu mereka mulai meninggalkan ruangan.

Di kursinya, Biru masih memasukkan binder dan alat tulis ke dalam goodie bag yang sebenarnya hanya untuk formalitas saja--Biru tidak mencatat satu kata pun dalam kertas bindernya. Alih-alih bersemangat seperti yang lain, rasa lemas justru menyerangnya bertubi-tubi kala hari semakin sore.

Sejak pagi, Biru memang merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Pusing, mual, perut yang terasa perih, semuanya bercampur jadi satu. Awalnya Biru masih sanggup menahan itu semua. Tapi kini Biru bahkan tidak tahu apakah ia bisa pulang ke kos dengan selamat atau tidak.

Satu-satunya orang yang menyadari bahwa kondisi tubuh Biru memang tidak sedang fit tentunya adalah Sam. Cowok itu sudah curiga ketika melihat Biru datang dengan wajah pucat, dan Biru bahkan sudah tertidur sampai lima kali terhitung dari awal mata kuliah hari ini. Biru juga lebih memilih diam di kelas dan menolak ajakan siapa pun yang mengharuskannya untuk angkat kaki.

Sam pun bangkit dan berdiri di depan meja yang ditempati Biru. Tanpa aba-aba Sam langsung menempelkan telapak tangannya ke dahi Biru. Merasakan suhu tinggi yang tidak biasa, Sam kontan berdecak cemas. "Bi, lo sakit," simpulnya, "kenapa nggak ngomong ke gue, sih? Atau ke yang lain?"

Biru menggeleng pelan dengan mata yang ia pejamkan sejemang. "Cuma pusing, kok."

"Apanya yang cuma pusing? Badan lo panas banget, Bi. Lo demam!"

Kali ini Biru tak membantah dan tidak punya tenaga cukup untuk berdebat. Dugaan Sam pun mungkin benar adanya.

"Lo bisa jalan? Atau gue perlu pinjem motor ke anak-anak yang lain?" tanya Sam dengan intonasi yang jauh dari kata tenang.

"Gue nggak lumpuh, Sam," dengus Biru. "Nggak usah pinjem-pinjem. Gue masih bisa jalan." Cewek itu pun meraih goodie bag-nya dan berdiri. Rasa pusingnya memang semakin menjadi, namun Biru merasa masih bisa mengatasi itu sampai ia benar-benar sampai di kos.

Sam menghela napas. Tanpa diminta, ia pun merangkul Biru dan membawanya keluar dari ruangan. Untungnya Biru tidak banyak protes dengan tindakan Sam yang hanya tidak ingin hal-hal buruk terjadi pada Biru selama di perjalanan.

Sayangnya, Sam yang tidak tahu apa-apa tidak bisa berbuat banyak ketika mereka sampai di lantai satu gedung fakultas, Biru bertemu dengan Selina di dekat pintu kaca yang berdampingan dengan seseorang yang akhir-akhir ini selalu menggerayangi pikirannya.

"Bi, sumpah, bukan gue yang bawa Mas Angkasa ke sini," tutur Selina, wajahnya tampak merasa bersalah sekali. "Dia--"

"Ini siapa, Sel?" Itu suara Sam.

"Ini ada apa? Biru ... sakit?" Yang itu ... sudah pasti suara Angkasa.

Biru hanya bisa termangu di tempatnya berdiri.

Sebenarnya situasi macam apa, sih, ini?

- - -

waaaw disamperin mantan :((

(31 juli 2020)

Unsaid Words [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang