43 | Dari Sedekat Nadi, Jadi Sejauh Mentari

Start from the beginning
                                    

"Papa udah dengar semuanya dari Kanesya," terang Papa. "Sebenernya, tanpa Deri menyerahkan diri, rencananya untuk menjebak keluarga Ayah kamu udah tercium sama mereka. Hanya saja, mereka juga terkejut Deri udah berbuat seperti itu ke mamanya Thalia. Bahkan sampai ada nyawa yang melayang."

Sebuah beban di benak gue terangkat mengetahui Papa sudah memahami cerita ini, nggak perlu susah payah gue menjelaskan segalanya dari awal.

"Pilihan kamu ... Papa bangga." Lelaki itu menepuk pundak gue beberapa kali. "Dibutuhkan kelapangan hati luar biasa untuk bisa mengikhlaskan dendam pribadi kayak gitu. Papa salut."

Gue menelan ludah. "Papa nggak tahu sama sekali apa yang udah membebani Bunda selama ini?"

Papa menggeleng, anehnya sambil tersenyum tipis. "Papa cuma tahu Bunda punya kenangan nggak mengenakkan di pernikahan sebelumnya, tapi nggak secara spesifik tahu apa."

"Apa Papa nggak kecewa? Misal, nyesel kenapa Bunda nggak pernah cerita?"

"Buat apa?" Papa terkekeh. "Papa tahu pasti, Bunda kamu ingin membuka lembaran hidup baru waktu menikah sama Papa. Papa akan dengarkan kalau Bunda cerita, tapi kalau enggak, ya udah. Papa cuma fokus berusaha membuat hari-hari Bunda bareng Papa jadi kenangan terbaik untuk Bunda. Sambil berdoa, semoga yang Papa lakukan cukup untuk menghapus luka di hati Bunda, apapun itu."

Gue mengernyitkan dahi. "Sekarang Papa udah tahu kenyataannya, Papa nggak marah?"

Papa menoleh. Tangannya yang tadi di pundak berganti mengacak rambut gue. "Dendam itu cuma bikin lingkaran setan. Lagipula, Papa belajar dari kamu, kan? Kamu udah memilih untuk membiarkan perbuatan mereka diganjar Tuhan, begitu pula Papa."

"Tapi ... aku berbuat gini ..." Sesak. Dada gue sesak. "Bikin aku kehilangan Thalia."

Papa berdecak. "Alvin, coba Papa tanya. Kamu bisa memaafkan keluarga Ayah kamu, berapa lama usahanya? Apa kamu nggak melewati hari-hari penuh kegalauan?"

Gue menggeleng kuat-kuat. "Lama banget, Pa. Susah."

"Nah, itu. Thalia juga sama. Dia manusia. Dia butuh waktu."

"Bukan cuma karena dia belum mau maafin Alvin, Pa. She actually hurt me. She said some very hurtful things." Suara gue berubah serak. "Maksud aku kehilangan Thalia, bukan cuma dia yang ninggalin aku, tapi ..." Pikiran untuk mengakhiri semuanya sekalian saja, supaya baik gue maupun Thalia nggak lagi terluka, muncul di otak gue.

"Papa yakin, setiap tindakan ada konsekuensinya. Konsekuensi ini nggak selalu baik, meskipun niat kita baik. Saran Papa, kalian memang butuh waktu untuk cooling down. It's okay. Wajar."

Gue mendengus kesal. "Papa bilang wajar, manusiawi, gitu aja dari tadi."

"Loh, memang, kan?" Papa terkekeh. "Nak, jangan putting Thalia on a pedestal. Tahu kamu, istilah itu? Jangan mengidolakan dia sampai pada titik kamu menganggap dia nggak mungkin berbuat salah. Jangan proyeksikan pandangan ideal kamu tentang seorang wanita ke Thalia, ketika dia sendiri lagi struggling untuk membangun kepercayaan dirinya yang barusan hancur. Itu nambah beban."

Omongan Papa masuk ke telinga kiri, dan menetap di otak gue, tanpa keluar dari telinga kanan. Papa baru saja mengutarakan hal-hal yang menarik.

Selama ini ... I put Thalia on a pedestal, ya?

Gue menunjukkan senyuman lebar untuk Papa. "Makasih ya, Pa. Aku masih butuh menata hati, tapi ... aku tetep nggak akan mundur ngelakuin hal baik. Aku tetep sama keyakinanku."

"Nah, gitu dong, anak Papa!" Papa mengarahkan telapak tangan kirinya. Segera gue sambut dengan tangan kanan untuk melakukan tos. "Eh, anak Bunda juga, deng," tambah Papa sambil melirik pusara Bunda.

Andaikan Saja KitaWhere stories live. Discover now