43 | Dari Sedekat Nadi, Jadi Sejauh Mentari

1.2K 234 27
                                    

huft akhirnya bisa napas. tida ada warning, udah lewat badainya wkwk

*

"Sayang banget. Selama ini lo salah memandang gue, terlalu tinggi. I'm not a saint. Actually, I'm evil. Lo tahu? Gue tidur sama lo cuma sebagai ... let's say, an ego booster. I don't really love you. Gue cuma suka aja lihat seseorang sebegitunya memuja badan gue. Oh ya, your dream still sucks, by the way. Masa depan lo bener-bener terombang-ambing ... beda jauh sama banyak banget cowok keren di luar sana. Kayak Raymond, contohnya. Atau nggak usah jauh-jauh. Arsya aja, levelnya jauh di atas lo. Gue juga sebenernya nggak sudi ngurusin nilai-nilainya anak basket. Why would I care, anyway? Kalau bukan karena itu volunteer work yang bisa buat aplikasi ke MIT, I'd rather do something else."

Nggak bisa. Gue nggak bisa melanjutkan perjalanan.

Gue menepikan mobil yang sedari tadi gue kendarai dengan ugal-ugalan. Cari mati emang, mengingat jalanan Lembang nggak familiar untuk gue dan medannya yang naik turun. Gue mengerjapkan mata beberapa kali. Kabut yang ada di mata gue ternyata genangan air.

"Thalia ..."

Nama itu gue sebut berulang-ulang sambil menyandarkan kepala gue ke kemudi.

Sakit, Thal.

Sakit mendengar semua ketakutan terbesar gue dibeberkan dengan gamblangnya oleh seseorang yang gue cintai sepenuh hati.

Sakit melihat kenyataan bahwa Thalia memang sedang tertekan setelah kerasnya hidup menerjang dia berkali-kali dan berturut-turut, tapi kenapa harus gue yang jadi sasak hidup?

Gue kembali menekan pedal gas. Kali ini, gue punya tujuan pasti ke mana gue akan pergi.

"Bunda, apa kabar?"

Embusan angin menerpa gue yang sedang berjongkok di depan pusara Bunda.

Nggak ada jawaban.

Ha, memang, apa yang gue harapkan?

"Aku kangen." Tangan gue meremas rerumputan yang melapisi makam Bunda. Gue membayangkan bagian dari makamnya adalah perpanjangan tubuh Bunda. Gue nggak bisa lagi menggenggam tangan wanita yang paling berharga di hidup gue, jadi ini hal terdekat yang bisa gue lakukan.

"Aku ... mau bikin pengakuan."

Hening.

"Jadi orang jahat itu enak ya, kadang-kadang? Bahkan kalau pun mereka dapat hukuman, itu karena mereka emang salah. Tapi, lihat deh Bun, orang baik malah sering dapat hukuman yang nggak sepantasnya mereka terima."

Gue menengadahkan kepala ke atas, memperhatikan langit Jakarta yang nggak pernah benar-benar biru.

"Aku sekarang ngerasain ... gimana Bunda merasa nggak pernah cukup, selalu kurang, selalu nggak layak bersanding dengan orang yang Bunda cinta ... Sakit banget ya, Bun?"

Saat gue kembali menunduk, sebutir air lolos dari ujung mata gue, terjun menuruni pipi dan jatuh ke atas pusara Bunda.

Ini tangis pertama gue setelah kepergian Bunda lebih dari setahun yang lalu.

"Ada Papa, Nak."

Gue terkesiap mendengar suara rendah yang akrab di telinga itu. Buru-buru gue menghapus jejak air mata dan menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, mencari sumber suara.

Ada Papa yang melengkah mendekati gue. Entah sejak kapan dia berdiri di belakang sana, mengamati gue dari jauh.

Papa duduk bersila di samping gue. Tangannya merangkul pundak gue, sekaligus mengisyaratkan untuk gue mengikutinya duduk.

Andaikan Saja KitaWhere stories live. Discover now