2 | Yang Tak Terlihat

4.4K 768 114
                                    

"Lagi-lagi, aku kehilangan seseorang yang paling aku cintai di dunia."

<>

THALIA

<>


Lucu bagaimana hidup seseorang bisa berubah seratus delapan puluh derajat dalam sekejap. Atau untuk kasusku, dalam satu setengah bulan.

Semenjak Papa meninggalkan kami saat aku berusia tiga tahun, Mama bekerja tiga kali lipat lebih keras dari sebelumnya. Mama berkata bahwa ia tidak akan membiarkan status single parent menjadi halangannya untuk memberikanku fasilitas terbaik. Boleh jadi, Mama berhasil. Aku selalu hidup berkecukupan. Berlebih, malah.

Sampai akhirnya, aku menyadari Mama mulai berubah. Seiring Mama menapaki tangga karier, Mama semakin jarang di rumah. Rupanya, Mama tidak hanya menekuni pekerjaan kantorannya. Ia merambah menjadi investor, mencari perusahaan yang terlihat akan berkembang pesat untuk ditanami modal. Hari-hari Mama penuh dengan rapat, rapat, dan rapat. Pundi-pundi uang yang kami miliki memang menggembung dengan cepat, tapi aku kehilangan Mama dalam prosesnya.

Puncaknya adalah sebulan yang lalu. Rumah kami diketuk dengan kasar oleh seseorang. Mama yang selama beberapa minggu terakhir terlihat lebih paranoid dari biasanya sontak menggenggam tanganku dan membisikkan permintaan maaf. Saat itu, aku hanya bisa menatap Mama bingung. Aku sama sekali tidak menyangka polisi berseragam telah menunggu Mama di depan rumah. Mama menjadi saksi untuk sebuah kasus penipuan, di mana Mama menjadi salah satu pemilik perusahaan finansial baru yang sudah mengambil banyak harta pelanggan. Namun, Mama tetaplah seorang dengan prinsip bagai baja. Ia tidak akan membiarkan orang lain menderita karenanya, meskipun bukan Mama yang membawa kabur uang perusahaan. Aku menyaksikan hampir seluruh harta dan aset kami dicairkan untuk menebus kerugian pelanggan. Hasil keringat dan peluh Mama selama satu dekade terakhir ia serahkan kepada orang-orang yang dirugikan oleh partner bisnisnya.

Kasus itu menyisakan kami berdua, berkarung-karung baju koleksi kami, dan sebuah rumah yang jauh lebih sederhana dari rumah yang aku tempati sejak lahir. Aku berjuang menata hati, menyesuaikan diri dengan kehidupan baru tanpa uang yang bisa dihambur-hamburkan. Semua itu mudah kulakukan karena setidaknya aku mendapatkan Mamaku kembali. Mama lebih sering di rumah, bisa memasak sarapan untukku setiap pagi dan bercengkerama sebelum kami tertidur pada malam hari.

Ternyata, kebahagiaan itu berlangsung begitu singkat. Pada suatu pagi, aku terbangun akibat suara barang pecah belah dibenturkan ke permukaan keras. Aku berteriak berusaha menghentikan Mama yang sedang melemparkan gelas dan piring ke dinding. Pecahan peralatan makan itu telah melukai tangan, kaki, dan wajahnya, tetapi Mama malah menjerit dan bersorak senang setiap berhasil menghancurkan sesuatu. Aku memohon-mohon sambil menangis, meminta Mama menghentikan semua ini. Mama hanya melirikku sebentar, lalu tertawa-tawa sambil mengoceh bahwa anak kecil tidak tahu apa-apa dan tidak perlu ikut campur urusan orang dewasa.

Warga sekitar yang mendengar keributan di rumah kami memaksa masuk. Bu RT membawaku pergi untuk menenangkan diriku yang mulai menangis meraung-raung. Sementara Mama dibawa ke rumah sakit jiwa.

Lagi-lagi, aku kehilangan seseorang yang paling aku cintai di dunia. Tidak secara harfiah, karena Mama masih hidup. Walaupun begitu, ia tidak mengenaliku, tidak bisa diajak bicara, dan menghabiskan hari dengan berteriak-teriak kesetanan. Raganya berfungsi, tetapi jiwa, yaitu sesuatu yang membuat Mama adalah Mama, sudah mati.

Nenek datang dari Bandung untuk menemaniku dan mengurus Mama. Sehari setelah aku dan nenek mengurus proses rawat inap Mama di rumah sakit jiwa, aku dirayapi keinginan aneh. Keinginan untuk menyusul Papa dan Mama, untuk pergi dari dunia ini. Seharusnya seseorang yang masih bernapas ketakutan memikirkan kematian, tetapi yang timbul di otakku saat itu adalah kedamaian. Mati dalam damai. Betapa indah. Tanpa sadar, aku sudah berada di rooftop gedung apartemen tempat Mama dulu memiliki beberapa unit, yang tentu saja sekarang sudah dijual. Embusan angin yang menerpa rambutku terasa seperti belaian Mama saat menghantarkan aku tidur. Bedanya, tidur yang aku rencanakan saat itu adalah untuk selamanya.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang