30 | Jatuh

1.4K 281 46
                                    

"Kehidupan seperti apa yang Bunda jalani selama Ayah masih hidup?"

-0-

ALVIN

-0-

Chrysan datang menghampiri gue di kelas pas banget setelah bel istirahat makan siang berbunyi. Wajahnya semringah, tangannya menggenggam ponsel, kemudian ia menyodorkan layar ponsel itu ke depan muka gue.

Gue mengernyitkan dahi. Ngapain Chrysan menunjukkan jadwal kereta api ke Bandung di salah satu aplikasi pembelian tiket daring?

"Sore ini lo nggak ada latihan basket, kan? Gimana kalau kita ke Bandung? Nyamperin Thalia Pelatnas. Hari ini pengumuman empat besar yang jadi Timnas, loh!"

Mata gue membulat. Bener juga. Thalia sudah selesai melaksanakan serangkaian tes di Pelatnas. Malam ini, siapa saja yang akan mewakili Indonesia ke International Biology Olympiad akan diumumkan. Dari percakapan kami kemarin, gue menangkap Thalia sangat percaya diri namanya akan terpanggil, bahkan mungkin banget menempati peringkat pertama. Walaupun begitu, dia agak sedih karena Tante Marissa malah harus ke Jakarta kemarin malam.

"Boleh juga ide lo," ucap gue sambil mengangkat sebelah tangan. Chrysan tertawa senang, lalu menyambut tangan gue untuk melakukan tos.

Itulah awal mula gue dan Chrysan bisa ada di sini, duduk bersebelahan di salah satu gerbong kereta yang sedang melaju menuju Bandung. Baru beberapa menit kereta bergerak, kepala Chrysan sudah terkantuk-kantuk. Dengan sigap, gue menahan kepalanya yang nyaris membawa tubuhnya terjerembab ke depan. Astaga, cewek ini bener-bener nggak bisa tidur cantik. Gue menahan tawa melihat kening Chrysan sangat berkerut. Dia mikirin apa sih, pas tidur? Cuma Chrysan yang ekspresinya saat bermimpi bisa lebih serius dibanding saat mengerjakan ujian.

Semua perilaku unik Chrysan ini yang bikin gue pernah jatuh hati sama dia, dulu. Chrysan itu ibarat matahari, selalu menyebarkan kehangatan di mana pun dia berada. Dia cepet banget menjalin pertemanan dan luwes melempar candaan, tapi sama sekali bukan tipe candaan yang menyinggung orang lain. Gue saat berumur tiga belas tahun nggak pernah kepikiran akan tergila-gila justru sama sahabat Chrysan, yang waktu itu gue anggap terlalu serius dan ambisius.

Gue memandang ke arah jendela. Kelihatannya kereta mulai meninggalkan perkotaan. Gue menyandarkan tubuh ke kursi, meregangkan otot-otot, dan memejamkan mata. Sejujurnya, gue kelelahan. Gue belum dapat tidur yang benar-benar nyenyak setelah pertemuan dengan keluarga Ayah dua hari yang lalu. Memori malam itu masih sering berputar menghantui otak, persis kaset rusak yang nggak mau berhenti.

Malam itu, rumah gue kedatangan sebuah Porsche warna hitam dengan seorang supir di dalamnya. Gue menaiki mobil dengan tanda tanya besar mengenai di mana Nenek Santika dirawat. Kemacetan di jalanan Jakarta pada pukul tujuh belum sepenuhnya terurai. Gue jadi sangsi mobil ini bisa sampai ke mana pun tujuannya sebelum pukul sepuluh malam.

Ternyata, orang-terlalu-kaya selalu punya cara untuk membuat orang kayak gue terkejut. Mobil itu berhenti di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup dekat dari rumah gue. Gue diantar ke rooftop, tempat sebuah helikopter telah terparkir dengan cantik. Empat puluh menit berkendara membelah langit Jakarta saat itu adalah kali pertama gue merasa jadi orang super penting yang mode transportasinya bebas dari kemacetan.

Sayangnya, tujuan gue ke sana nggak tercapai. Gue mendarat di halaman belakang sebuah mansion, disambut oleh Kanesya yang langsung memberi kabar bahwa Nenek Santika belum bangun semenjak dokter menaikkan salah satu dosis obat peringan rasa sakit. Gue dipersilakan untuk memasuki kamar perawatannya yang memiliki perlengkapan persis seperti ruangan VIP di rumah sakit. Seorang wanita dengan wajah penuh keriput, tapi belum kehilangan rona kecantikan dan arogansinya, terbaring di kasur. Dadanya naik turun dengan damai. Gue menelan ludah, merasa bersalah tiba-tiba. Kenapa nggak ada sedikit pun rasa iba atau simpati yang muncul di dalam diri gue, ya? Gue merasa nggak ada ikatan emosional apa pun dengan keluarga Ayah, termasuk nenek gue sendiri.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang