22 | Pecah dan Terburai

1.4K 306 93
                                    

"She looks so miserable and I can't help but pity her

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"She looks so miserable and I can't help but pity her."

<>

THALIA

<>

Setelah hampir tiga minggu di Jakarta, Mama harus kembali ke Bandung. Lagi-lagi, aku sendirian di apartemen. Ketakutan terbesarku adalah terlambat bangun karena terbiasa mengandalkan Mama. Untungnya, pagi ini aku terbangun saat azan Subuh berkumandang. Aku melawan keinginan untuk kembali menutup mata meskipun badanku terasa pegal-pegal. Kemarin malam, tim putra dan putri Garda Bangsa bertanding di semifinal Jakarta Cup. Aku menjadi bagian dari rombongan Garba yang mendukung tim kebanggaan kami dari tribun. Meneriakkan yel-yel dan menggerakkan badan mengikuti arahan koordinator supporter selama kurang lebih dua jam memang menguras energi.

Walaupun begitu, kami semua pulang dengan senyum merekah. Kedua tim berhasil mengamankan posisi untuk berlaga di final.

Aku sedang menyiapkan butir telur yang akan kumasak orak-arik ketika telepon rumah di ruang tamu berdering. Aku mengernyitkan kening. Telepon itu hanya akan berbunyi jika resepsionis menghubungi unit apartemen ini.

"Halo?" aku mengangkat telepon tersebut dan meletakkannya di telinga. Suara seorang wanita menyapa telingaku.

"Apa benar ini dengan kakak Thalia? Ini ada temannya yang menunggu di lobby, ingin bertemu. Peraturan apartemen mengharuskan penghuni menjemput sendiri tamu, Kak."

Siapa yang ingin bertamu pukul setengah enam pagi? Seingatku Chrysan tidak mengabari apa-apa.

"Oh, iya saya ke sana sekarang. Teman saya apakah memberi tahu namanya?"

"Zahra, Kak."

Hah?

Tanpa berpikir panjang, aku segera menyambar kartu akses dan melenggang keluar kamar. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku melihat seorang Zahra benar-benar sedang menungguku di lobby. Zahra yang sudah mengenakan seragam dan membawa tas ransel itu berdiri dari duduknya saat aku menghampiri.

"Thal, gue boleh ke numpang ke apartemen lo bentar, nggak? Ada hal yang penting banget. Gue perlu bantuan lo." Suara Zahra terdengar bergetar.

Aku menyelidiki raut wajah Zahra. Gadis itu terlihat lebih pucat dari biasanya. Tangannya meremas rok sejak tadi, menandakan kegugupan yang sangat. Dengan berjuta pertanyaan di otak, aku mengisyaratkan Zahra untuk mengikuti langkahku.

Sampai di apartemenku, Zahra mengambil duduk di sofa ruang tamu sedangkan aku menuju dapur.

"Gue bikinin teh anget dulu, ya. Lo juga belum sarapan kan—eh ..."

Tiba-tiba saja, Zahra menarik lenganku dan mencengkeramnya erat. Dia sendiri tampak terkejut dengan reaksi impulsifnya.

"Ngg, nggak usah, Thal. Gue beneran butuh ngomong sekarang," lirih Zahra.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang