19. Kembali ke Sekolah

18 0 0
                                    


Tak terasa hari libur sekolah telah berakhir. Namun, Sumi tak begitu mengerti apa itu libur sedangkan Roro heran mengapa kedua remaja itu tampak begitu heboh mempersiapkan hari pertama masuk sekolah. Meski begitu, dirinya dan Roro kini berada di SMAN 9 Cisawan. Edi lagi-lagi berhasil membujuk Roro untuk berkunjung ke tempat ini. Hingga saat ini, Sumi masih tak habis pikir apa yang membuat sang putri mau menuruti kemauan lelaki itu. Meski begitu, Sumi berpikir tidak ada salahnya mengunjungi tempat itu mengingat tahun depan Roro dan dirinya akan bersekolah di tempat itu. Paling tidak, itu yang dijanjikan Rena.

Begitu mereka tiba di sekolah, kedua gadis itu menjadi pusat perhatian di hari pertama masuk sekolah. Lebih tepatnya, Roro yang menarik perhatian seluruh murid dan beberapa guru di sekolah itu. Murid baru memang biasanya selalu membuat penasaran seisi sekolah, terutama jika murid baru tersebut secantik dan seanggun Roro. Mereka memandangi Roro bagai melihat seorang bidadari yang menapakan kakinya di bumi. Namun, yang tidak mereka perhatikan ialah Sumi yang mendekap lengan sambil dan memperhatikan tiap murid yang memandangi sang tuan putri. Sementara itu, Edi dan Kinasih hanya bisa mencuri dengar di tengah kerumunan.

"Kita mau tanya sesuatu, boleh nggak?" celetuk seorang murid.

"Mau tanya apa?"

Kerumunan itu pun makin riuh. Semuanya tidak sabar dan saling berebutan melemparkan pertanyaan kepada Roro. Mereka seperti punya ribuan pertanyaan, tidak seperti saat belajar di kelas. Tentu tidak semua pertanyaan dijawab olehnya. Beberapa pertanyaan membuat dirinya tidak nyaman dan beberapa diantaranya keburu ditimpal pertanyaan oleh murid yang lain.

"Kamu sepupunya Kinasih?"

"Iya, betul," jawab Roro sambil mengangguk.

Tentu saja hal itu tidak benar. Itulah yang selalu mereka katakan saat mengenalkan diri. Roro dan Sumi harus mengatakan bahwa mereka adalah keponakan jauh Rena yang berasal dari pelosok. Paling tidak, itu yang mereka katakan saat mengenalkan diri ke seluruh tetangga di Komplek Darunasapa. Semuanya sesuai perintah Rena.

"Eh, aku mau tanya soal Edi, dong!" ungkap seorang murid.

"Soal Edi?" tanya Roro keheranan.

"Iya! Kok, Edi aneh begitu, ya?" tanya seorang murid.

Roro tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun bingung kenapa mereka menanyakan soal Edi kepadanya. Malangnya, kebingungan itu membuat kerumunan itu makin menjadi-jadi.

"Apa Edi itu nggak suka bergaul?"

"Atau mungkin anaknya saja pemalu?"

"Apa memang dia introvert?"

"Atau psikopat, mungkin?"

"Betul! Mungkin Edi suka bunuh orang?"

"HEH, KALIAN JANGAN SUKA SEENAKNYA!"

Kinasih pun segera menarik Roro dan Sumi ke dalam ruangan UKS dan segera menutup pintu. Kinasih segera duduk di sebuah matras dan berusaha menenangkan diri.

"Kinasih..." panggil Roro sambi mendekatinya perlahan. "Apa yang mereka bicarakan?"

Kinasih memandangi Roro dan Sumi hingga akhirnya menarik napas panjang. Dirinya benci mengorek luka lama tapi cepat atau lambat ia harus menceritakannya.

"Empat tahun yang lalu, ma– temanku terjatuh dari lantai 2."

"Di sekolah ini?" tanya Roro.

"Bukan, di sekolah kami yang lama."

"Apa yang terjadi?"

***

Kinasih mau tak mau menceritakan kejadian yang tak terlupakan itu kepada Roro dan Sumi. Faktanya, kejadian itu pun tak dapat dilupakan sebagian besar warga Kota Cisawan. Kabar mengenai seorang murid SMP yang mendorong murid lainnya hingga terjatuh dari lantai dua tentu saja membuat gempar seisi kota. Bahkan, kejadian itu sempat diberitakan oleh surat kabar POS CISAWAN, salah satu surat kabar ternama di kota tersebut. Kejadian itu terjadi di suatu Kamis pagi yang dingin. Berdasarkan keterangan saksi, sempat terjadi perselisihan sebelum pelaku berinisial E (13) akhirnya mendorong korban, A (14), dari lantai dua SMPN 13 Cisawan. Ardian pun sempat tak sadarkan diri sebelum akhirnya mengalami koma. Menurut sahabat korban, K (13), ini bukan pertama kalinya pelaku dan korban bertengkar. Namun, K tidak menyangka pelaku tega bertindak seperti itu.

***

"Apa benar Edi yang melakukannya?"

Meski enggan, Kinasih menganggukan kepalanya.

"Mau bagaimana lagi... Edi cuma membela diri."

***

Membela diri merupakan satu-satunya yang dapat dikatakan Edi setelah diinterogasi selama beberapa jam di ruang BK SMPN 13 Cisawan. Tentu saja guru-gurunya tidak langsung percaya karena sejak awal Edi menangis dan bersikukuh bahwa bukan dirinya yang mendorong Ardian dari lantai dua gedung sekolah itu. Pembelaan diri itu sendiri awalnya dicetuskan oleh Rena yang segera datang ke sekolah untuk mengecek Edi. Setelah melihat kondisi Edi, Rena menyadari ada sesuatu yang salah saat melihat luka lebam di wajah Edi. Rena pun membela Edi di hadapan guru-gurunya sementara Edi hanya mengiyakan. Rena pun meyakinkan Edi bahwa dirinya akan mengatasi semuanya.

Sayangnya, masalah tidak berhenti di situ. Selang beberapa hari setelahnya, surat kabar POS CISAWAN segera menerbitkan edisi terbaru dengan tajuk utamanya yang berjudul "KASUS PENDORONGAN MURID SMP DISELESAIKAN SECARA KEKELUARGAAN". Tentu saja artikel tersebut mencantumkan bahwa E (13) melakukan pembelaan diri dan biaya rumah sakit korban ditanggung penuh oleh keluarga pelaku, hanya saja tidak ada yang mempedulikannya. Warga Kota Cisawan sudah terlanjur naik pitam membaca judul berita tersebut. Siapa juga yang bisa menyalahkan mereka yang sudah lelah melihat ketidakadilan di negaranya selama bertahun-tahun. Warga Kota Cisawan pun terpaksa menyelesaikan masalah tersebut dengan tangan mereka sendiri.

Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan nama lengkap dan alamat pelaku. Rumah nomor 4 di Komplek Darunasapa itu pun mulai menerima berbagai macam teror. Tiap hari, ada saja yang melemparkan sesuatu tepat ke jendela rumah mereka. Mulai dari kerikil, kotoran, batu bata, hingga sebuah molotov yang hampir melalap habis karpet di ruang tamu. Terkadang, Rena menemukan surat kaleng bermuatan berbagai macam ancaman dan sumpah serapah lengkap dengan paket berisikan bangkai binatang. Kejadian itu berlangsung selama beberapa minggu hingga membuat Rena sempat berpikir untuk pindah. Beruntungnya, perlakuan terror tersebut pun berangsur-angsur menghilang karena mereka menyadari tindakan tersebut tidak akan dapat berdampak besar dalam mengubah ketimpangan hukum di negara mereka. Mereka pun melupakan kejadian tersebut bagai angin lalu. Bahkan, tidak ada satu pun dari mereka yang peduli saat Ardian menghembuskan napas terakhirnya.

Meski begitu, tidak semua warga Kota Cisawan dapat melupakan kejadian tersebut. Di sekolahnya, tidak ada lagi yang berani menyapa dirinya. Bahkan beberapa guru pun berusaha menghindari dirinya. Edi pun memilih duduk di bangku belakang sendiri. Hanya Kinasih yang terkadang masih menyempatkan duduk di sebelah dirinya meski Edi berusaha menjaga jarak karena ia tak ingin Kinasih dijauhi teman-temannya. Tidak hanya itu, Edi juga merasa tetangga di sekitar rumahnya pun menganggap dirinya bukan warga daerah itu. Mereka selalu memalingkan wajah tiap kali berpapasan dengannya. Maka tidak aneh jika Edi mendapat julukan anak lelaki paling dibenci di Cisawan.

***

"Dengar, ya! Terserah kalau kalian mau membenci Edi. Aku cuma nggak mau kalian membenci Edi gara-gara omongan orang-orang itu!"

Roro pun bangun dari tempat duduknya.

"Kita tidak membenci Edi," tegas Roro yang kemudian melirik Sumi. "Iya, kan?"

Sumi menganggukan kepala meski tampak segan.

"Eh, kalian..." panggil Edi dari balik pintu. "Tante Rena sudah selesai berbicara dengan kepala sekolahnya jadi kita bisa pulang sekarang."

Ketiganya pun segera beranjak, namun, sebelum mereka mencapai pintu, Edi mengatakan sesuatu yang membuat mereka berhenti melangkah.

"Maaf, Roro... Maaf, Sumi... Kalian jadi mendengar kabar ini dari mereka. Aku harusnya menceritakannya ke kalian sebelumnya. Maaf... tolong bilang ke Tante Rena kalau Edi pulang duluan."

Edi pun langsung berlari meninggalkan mereka bertiga di tempat itu. Kinasih menggelengkan kepalanya melihat tingkah Edi tapi ia tahu dirinya tak dapat membayangkan perasaan lelaki itu. Sementara itu, Sumi sudah tidak kaget lagi mendengar kabar buruk soal Edi. Sumi juga sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan seorang anak manusia yang bertarung hingga menghilangkan nyawa lawannya. Lagi pula, Sumi tak dapat menghitung berapa nyawa yang ia renggut dalam pertarungan. Hanya Roro yang tak tahu harus bagaimana. Sempat ia mengira bila dirinya ikut ke sekolah ia dapat meringankan beban pikirannya. Namun, kini ia tetap memikirkan bagaimana cara menyelamatkan kekasihnya dari kutukan dan dirinya dikejutkan pula oleh cerita kelam mengenai masa lalu Edi. Roro ingin Edi menceritakannya langsung dan berharap dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Paling tidak, itu yang ia harapkan sebelum menemukan dirinya terbangun di sebuah ruang kelas tepat pukul dua belas malam.

Ramban: Cinta & Kutukan (Old Version)Where stories live. Discover now