7. Di Sini Ada Sumi

91 7 4
                                    

Baru saja Roro dan Sumi tiba di Kota Cisawan, dan jujur saja, kediaman baru mereka membuat keduanya bergidik. Sumi ingat sekali saat pertama kali Roro dan dirinya menapakkan kakinya ke dalam rumah nomor 4 di Komplek Darunasapa tersebut. Saat membuka pintu depan saja, mereka dapat merasakan hawa kematian datang menghampiri.

Tentu saja hal tersebut tidak dirasakan oleh ketiga orang yang lebih dulu tinggal di sana. Baik itu Rena, Kinasih, ataupun Edi, tidak ada satupun dari mereka yang merasakannya. Sumi tak habis pikir, bagaimana mugkin orang-orang seperti mereka tinggal di tempat yang dipenuhi roh gentayangan.

"Nah, kalian berdua tidur di kamar tamu lantai dua, ya?!"

"Biar Edi yang tunjukin Tante!"

Edi dengan semangat menarik tangan Roro. Mereka menaiki tangga diikuti oleh Sumi yang masih melarak-lirik sekeliling rumah. Namun begitu mereka sampai di atas, perhatian Sumi tertuju pada salah satu pintu kamar di lantai tersebut. Dia merasakan sebuah aura jahat yang kuat dari balik pintu tersebut. Dia menyentuh gagang pintu tersebut. Begitu ia hendak membukanya, Edi menepuk pundaknya.

"Bukan itu kamarnya Sumi!"

Sumi tak mengerti.

"Sumi, itu bukan kamar kita!!"

Sumi mengangguk dan mengurungkan niatnya setelah mendengarkan peringatan Roro. Andai saja ia bisa menanyakan langsung kamar siapakah itu. Namun apa daya, dirinya hanya bisa melihat Roro dan Edi berbicara dengan satu sama lain. Hal itulah yang dilakukannya saat ini.

Edi lalu mengajak mereka berdua ke kamar tamu. Edi pun menyuruh keduanya untuk beristirahat sementara ia pergi dan bersiap untuk membereskan barang bawaan. Meski begitu, di lubuk hatinya ia berharap ia memiliki kesempatan untuk berduaan bersama Roro.

"Apakah Kanjeng tidak akan memberitahukan mereka?"

"Aku hanya tidak ingin menyinggung perasaan mereka..."

"Tapi..."

"Sudahlah..."

Sumi mengangguk dan berusaha menyembunyikan keingintahuannya.

"Eh, tunggu. Ada satu hal yang juga ingin aku tahu."

"Apa itu Kanjeng Putri?"

"Bagaimana kamu bisa berada di sini?"

***

Manusia mana yang tidak takjub melihat ratusan candi berdiri dengan megahnya hanya dalam waktu beberapa jam saja. Candi besar yang sebelumnya saja perlu waktu bertahun-tahun, tapi candi–candi ini sepertinya akan selesai dalam waktu semalam.

Di tengah hiruk-pikuk tersebut, seorang gadis datang dengan membawa sebilah keris. Keris itu bukanlah keris sembarangan. Barang siapa yang mempunyai keris tersebut, maka ia dapat menggunakannya untuk membantai manusia maupun makhluk halus.

Gadis tersebut dengan mudahnya menerobos pasukan roh yang menjaga pintu masuk candi. Dengan sekali tebas makhluk tersebut musnah terbakar api. Beberapa roh bertahan melawan, namun tak sedikit yang kocar-kacir melarikan diri. Begitu dia berada di dalam, ia bergegas mendekati tuan dari para makhluk tersebut.

"APA YANG KAMU LAKUKAN KEPADANYA?!"

Lelaki tersebut tidak menghiraukan perkataannya sama sekali.

"JAWAB!!!"

Lelaki tersebut tetap bergeming dan meneruskan semadinya.

"Sudah cukup kamu menyakiti orang-orang yang aku cintai!"

Gadis itu mebisikan sebuah mantra yang membuat kerisnya menyala kemerahan. Dia lalu mengambil ancang-ancang dan segera mencoba untuk menikam lelaki tersebut. Sayang, sebelum keris itu menyentuh kulitnya, lelaki itu berhasil memegang lengan Sumi dengan kuatnya. Lelaki itu berdiri dan kemudian mendorongnya ke belakang hingga ia terjerembap ke tanah.

"DASAR MAKHLUK TAK BERGUNA! APA HARUS AKU YANG MENGERJAKAN SEMUANYA?!"

Lelaki itu kemudian menyatukan kedua telapak tangannya sambil berkomat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba segerombolan arwah mengerubungi si gadis. Dia berusaha melawan dengan mengayunkan kerisnya ke segala arah. Sayangnya, perlawanannya kalah kuat bila disbanding cengkeraman ribuan cakar tajam para makhluk itu.

"KUBURKAN DIA DI BAWAH SALAH SATU CANDI!!!"

Gadis itu pun diarak menuju salah satu candi yang tengah dibangun. Kumpulan makhluk itu menjatuhkannya ke salah satu pondasi candi yang belum selesai. Sebelum Sumi sempat berbuat apa-apa, tumpukan batu sudah menutupi dirinya. Dia mengerahkan segala tenaganya untuk keluar. Sayang, dia tak dapat menemukan kerisnya. Dia pun mulai kehabisan udara hingga tanpa disadari perlahan menutup matanya.

***

"Dan lalu aku terbangun dan bertemu gadis itu."

"Apa dia mengutukmu juga?"

"Aku tidak tahu, Kanjeng Putri."

"Kalau tidak lalu bagaimana bisa?"

Sumi menggelengkan kepalanya.

"Maaf, Kanjeng Putri aku ingin menanyakan satu hal."

"Menanyakan apa Sumi?"

"Benarkah Kanjeng Putri mencintai pria itu?"

Roro tidak tahu harus menjawab apa. Ia agak berharap Edi tidak meninggalkan mereka berdua di kamar tersebut. Sambil duduk di atas kasur, ia berpikir apa yang harus ia beritahukan pada Sumi. Dia benar-benar tak ingin membahas hal tersebut dengannya.

"Hei, ayo! Tante suruh kita ke bawah buat makan!"

Edi mendadak datang sambil membawa tas miliknya. Roro lega Edi menyela pembicaraannya. Dia segera mengajak Sumi untuk turun ke bawah. Sumi menurut walau ia mengetahui bahwa Roro tak ingin menjawab pertanyaannya. Edi menyuruh mereka turun duluan karena dirinya hendak menaruh tas ke kamar. Tanpa sepengetahuan Roro maupun Sumi, dia membawa barang bawaannya ke kamarnya yang berada dibalik pintu dengan aura jahanam tersebut.

Ramban: Cinta & Kutukan (Old Version)Where stories live. Discover now