"Sialan, lo!"

Milly melayangkan tangannya di udara, berniat untuk menampar Rain, dan secara refleks Rain menutup rapat kedua matanya. Menunggu rasa panas dan perih yang sebentar lagi akan dirasakannya.

Namun aneh, sudah lebih dari lima detik tapi ia masih belum merasakan apapun.

Perlahan Rain mulai membuka matanya. Pertama yang ia lihat adalah tangan Milly yang berada beberapa centi di samping pipinya. Di cekal oleh tangan lain.

"Jangan suka main kasar lo jadi orang!" Qinan mencengkeram erat pergelangan Milly membuatnya meringis kesakitan.

"Lepasin!!"

Qinan menghempaskan tangan Milly dengan kasar.

Milly kesal. Ia menghentak-hentakan kakinya beberapa kali. Menatap tajam pada Rain dan kedua sahabatnya. Lalu pergi begitu saja.

"Lo gak apa-apa, kan?" Qinan menatap Rain yang rambutnya nampak basah dan lepek.

"Gak apa-apa. Ngapain lo nolongin gue? Gue udah biasa kena tampar, asal lo tahu!" ucap Rain dengan nada sinis.

Entahlah, ia merasa tak suka saat Qinan secara terang-terangan menolong dan melindunginya seperti itu. Ia tahu, itu hanya sebuah bentuk rasa iba padanya.

Qinan menghembuskan napasnya gusar. Apa yang salah? Ia hanya ingin, menjadi pelindung bagi saudarinya sendiri. Apa salah, jika nalurinya sebagai seorang kakak keluar saat melihat adiknya disakiti?

"Ayok, pulang."

"Sejak kapan, gue mau pulang bareng lo? Lo kan pulang - pergi udah ada yang ngurus. Antar - jemput supir. Udah sana pergi, gak kasian lo sama Mang Udin yang nungguin lo lama?"

Lala dan Fani hanya terdiam menyaksikan interaksi keduanya. Tidak ada yang tahu memang, jika Rain dan Qinan itu bersaudara. Mungkin hanya Rafa, dan itu juga entah bagaimana dia bisa tahu.

Lala dan Fani saling melirik, memberi kode, agar mereka pergi terlebih dulu.

"Rain, kita duluan, ya! Ini udah sore soalnya. Lo hati-hati di jalannya. Kalau ada apa-apa, lo bisa hubungin kita."

Rain tak banyak menanggapi, hanya mengangguk kecil dan tersenyum. Setelah keduanya pergi, ia pun beranjak dari sana - menuju halte.

"Lo mau kemana sih? Gue bilang, lo pulangnya bareng gue aja, Rain."

Qinan mencekal lengan Rain, membuatnya mau tak mau, harus berhenti dan menoleh.

"Kalau gue bilang gak mau, ya gak mau, Qinan! Ngerti gak sih? Udah pergi sono! Gue gak mau kena amuk Nyonya besar, cuma karena gue nebeng balik sama anak tercintanya," ucap Rain penuh penekanan.

Lalu berlalu meninggalkan Qinan yang hanya bisa terdiam.

Maafin gue, Rain. Gue belum bisa jadi kakak yang baik buat lo. Gue tahu apa yang lo mau. Tapi gak sekarang. Ini bukan waktu yang tepat buat lo tahu yang sebenarnya.

Gue cuman gak mau lo ....

Terluka.
________

Rainie ( END )Where stories live. Discover now