20. Flutter

76.2K 10.4K 548
                                    

Selama lima tahun berikutnya Sona masih menjadi yang terpenting untuk Arjen, Hero dan Genta. Gadis itu tumbuh cerdas dan menjadi favorit di generasi muda Alterion. Selama itu juga Irene tak menampilkan dirinya di hadapan para karakter utama dan Sona. Ini terasa aneh, ada yang mengganjal karena kini yang jadi pusat perhatian bukanlah karakter utama wanita asli, Irene Lavaric. Tapi karakter utama di dunia ini adalah Sona Valrize De Alterion, putri jahat berpikiran dangkal yang dihasut oleh iblis.

Semuanya menjadi terbalik. Sona mendapatkan semua hal yang harusnya di dapat oleh Irene. Tentu dia terheran-heran, tapi kemudian bersyukur karena resiko kematiannya berkurang secara drastis. Lalu rencananya untuk keluar dari istana ini tersisa dua tahun lagi, saat Sona genap berusia tiga belas tahun. Entahlah, Sona masih bimbang dengan keputusannya untuk tetap tinggal atau pergi. Rasanya ia tak sanggup ingin meninggalkan mereka sekarang. Semakin lama Sona bersama mereka, maka semakin ragulah keputusannya.

"Masih ada dua tahun. Jangan terburu-buru Sona." Gumamnya pada diri sendiri seraya tetap menggerakkan kuas pada kanvas di hadapannya.

"Terburu-buru untuk apa?" Suara rendah terdengar tepat di telinga kanan Sona. Bahkan ia bisa merasakan napas orang itu menyapu tengkuknya.

Sona membeku sebelum meledak dalam emosi, "Sudah ku bilang jangan muncul tiba-tiba begitu, sialan!"

"Ow!" Pekik Dexter melindungi kepalanya dengan tangan ketika Sona melemparkan kuas yang ia pegang, dan kemudian mundur beberapa langkah.

Dexter menyeringai lalu terbahak ketika melihat reaksi Sona yang selalu ia dapatkan ketika menganggunya.

"Berhentilah bertingkah seperti bocah, Dexter! Kau itu sudah sembilan belas tahun!" Raung Sona dengan wajah memerah karena marah. Sona yang berusia sebelas tahun tidak menahan dirinya ketika berhadapan dengan Dexter yang delapan tahun lebih tua darinya.

Sona terbiasa menghadapi Genta dan Ashlan yang berusia lima tahun lebih tua darinya, lalu Heroson dan Alphen yang tujuh tahun di atasnya. Tapi, diantara semua yang ia sebutkan Dexter lah yang terparah. Umurnya tak sesuai dengan tingkahnya yang kekanak-kanakkan. Padahal usianya terpaut delapan tahun dari Sona.

"Aku masih delapan belas! Masih bulan depan untuk mencapai sembilan belas!" Bantah Dexter dengan nada jahil.

Sona tercengang, dan kemudian mendengus sebal. Ia berbalik dan kembali fokus pada lukisannya lagi.

Dexter kembali mendekatinya dengan senyuman cerah, meski begitu Sona mengabaikannya.

Saat Sona kembali merasakan sapuan napas Dexter di pipinya, tubuhnya kembali menegang, tapi lagi-lagi Sona menekan perasaannya dengan tenang.

"Wah, lukisanmu tetap menakjubkan. Tak heran mereka memanggilmu tangan emas." Serunya memuji dengan tulus.

Sona hanya diam, tapi sedikit melirik ke arahnya untuk melihat reaksi laki-laki itu.

Wajahnya terlalu dekat! Keluh Sona ketika menahan rasa gugup dan debaran jantungnya.

Sona tak bisa memungkiri dan takjub pada wajah itu setiap kali melihatnya. Terkadang tanpa sadar ia menatap kosong ke arah Dexter setiap kali mengagumi wajahnya.

Sona terkadang merasa lucu ketika sadar bahwa tubuhnya berusia sebelas tahun, padahal ia selalu menganggap dirinya adalah wanita dewasa. Umurnya dua puluh tiga tahun saat ia datang ke dunia ini, dan itu sudah enam tahun yang lalu. Jadi bukankah sekarang usianya dua puluh sembilan?

Jadi di mata Sona, Dexter jauh lebih muda darinya. Ia hanya bocah brengsek. Tapi, entah mengapa terkadang jantungnya berdetak kencang ketika Dexter menganggunya dengan muncul tiba-tiba di dekatnya. Ini juga pernah ia rasakan dulu. Dulu sekali ketika Ashlan menggenggam tangannya tiba-tiba saat di pesta ulang tahunnya yang ke enam. Meski hanya sesaat Sona tak melupakan itu.

Bad Princess (END)Where stories live. Discover now