50. Propose

39.2K 5.7K 478
                                    

"Jangan berlebihan, kak. Aku sudah baik-baik saja." Sona merengut sebal pada Hero yang kini menatapnya cermat saat menghabiskan makanannya.

Sudah lebih dari sebulan sejak kejadian itu. Lagi-lagi Arjen, Hero dan Genta mengkhawatirkan secara berlebihan. Bahkan waktu makan dan tidurnya juga diatur dengan ketat.

"Kau juga bilang begitu minggu lalu dan kau pada akhirnya terserang flu." Ujar Genta tiba-tiba.

"Benar. Padahal kau adik kami. Tapi badanmu sangat lemah." Hero berdecak.

Sona melotot tak terima dan membalas. "Kalian saja yang tidak normal! Mana ada manusia yang tak pernah terserang sakit! Kalian saja yang aneh!"

Diam-diam para pelayan diruangan itu mengangguk setuju dengan kata-kata Sona. Yang tak normal adalah Kaisar dan kedua pangeran. Bukan Putri mereka. Bagaimana mungkin manusia tak pernah terserang sakit.

Genta terkekeh geli mendengar rengekan itu dan menepuk kepala Sona beberapa kali.

Sebenarnya minggu lalu Sona menyelinap ke taman saat malam dengan pakaian tidurnya yang tipis. Dia tak tahan karena selalu diawasi dan tak bebas berkeliaran. Jadi saat bulan bersinar terang dia melompat lewat jendela dan pergi ke taman. Padahal dia hanya menghabiskan setengah jam untuk menghirup udara segar, tapi itu malah membuatnya terserang flu.

Dia benar-benar merahasiakan hal ini dari mereka. Kalau mereka sampai tahu bisa-bisa mereka akan menghilangkan jendela di kamarnya. Itu akan merepotkan dan membuat Sona sakit kepala.

"Jadi kapan aku boleh kembali bebas dan berkeliling istana seperti dulu?" Tanya Sona penuh harap pada Arjen yang sedari tadi hanya diam dan mendengarkan pembicaraan mereka.

Arjen berhenti menggerakkan sendok dan garpu di tangannya sesaat lalu menatap Sona dengan penuh pertimbangan.

Sona menatapnya lama hingga Arjen memberikan jawaban. Tapi Arjen hanya diam, berpura-pura tidak mendengarkan.

Sona mengerutkan keningnya, mulai kesal. "Papa?" Ujarnya merengek.

"Tunggu saja. Tak akan lama." Kata Arjen akhirnya.

"Ya, tapi sampai kapan?" Keluhnya lagi. "Aku bosan hanya berada dikamar terus."

"Kalau begitu sesekali main saja ke kamarku. Kau bisa menganggu kakakmu ini sesuka hatimu." Kata Hero tersenyum. Dia serius. Sona kira awalnya dia bercanda, tapi setelah melihat wajah Hero, dia yakin kakak pertamanya itu serius.

"Benar. Kau juga bisa mengunjungi kamarku kapanpun kau mau." Genta mengangguk setuju.

Sona hanya menghela napas lelah. Jika di saat seperti ini entah mengapa mereka bertiga terlihat sangat kompak. Sungguh menyebalkan.

***

Sona menatap ke arah jendela saat malam. Dia berpikir untuk menyelinap keluar untuk melihat langit malam. Sejak dia datang ke dunia ini sekitar tujuh tahun yang lalu, dia suka melihat langit malam. Didunia ini saat malam banyak bintang bermunculan, sangat berbeda di dunianya dulu yang sangat jarang untuk menemukan hal seperti ini.

"Tapi sepertinya diluar sangat dingin." Keluhnya muram. Dia menyayangkan semua aksesoris sihirnya yang disita Arjen agar dia tak menyelinap ke luar dari kamar. Padahal kalau ada cincin itu, dia bisa keluar kamar dengan bebas tanpa khawatir kedinginan.

Tuk! Tuk!

Ketukan kaca memecah lamunan Sona saat itu. Dia melihat ke jendela dengan waspada.

Perlahan jendela yang tertutup rapat itu terbuka dengan sendirinya. Tentu saja itu pasti berkat kekuatan sihir.

Aura sihir ini. Sona sangat mengenalnya dengan baik. Karena itu kewaspadaannya turun, "Dexter?"

"Kau tahu itu aku." Sosok Dexter muncul di ambang jendela saat dia melepas jubahnya yang membuatnya menghilang.

Sona terkekeh, "Sudah lama. Apa kau..."

Grep.

Dexter tak mendengarkan kata-kata Sona melainkan langsung mendekapnya erat. "Akhirnya.." Ujarnya lega menumpahkan semua kekhawatirannya dalam pelukan itu.

Sona hanya diam. Dia tahu betapa Dexter menghawatirkannya. Mengingat dia tak jadi bertemu dengannya saat dia baru kembali dari perbatasan, dan lalu dia malah jatuh sakit hingga harus menunggu selama sebulan lebih untuk pulih. Total waktu yamg tertunda untuk bertemunya sekitar empat bulan.

"Kau tahu, sangat sulit untuk bertemu denganmu. Aku akhirnya berhasil masuk kemari setelah hampir dua minggu mencoba. Kaisar menaruh sihir pelindung yang sangat kuat saat malam, itu merepotkan. Dan siang hari, mereka sama sekali tak meninggalkan sisimu sedikitpun." Keluh Dexter berbisik.

"Lepas. Sudah lebih dari tiga puluh detik." Ujar Sona mendorong tubuh besar pemuda itu.

"T-tunggu. Satu menit! Tidak. Tiga puluh detik lagi! Kumohon." Katanya semakin mengeratkan pelukannya.

Sona menghela napas pasrah dan hanya membiarkannya.

"Putri, saat kau sakit. Aku juga berada di ruangan ini tanpa Kaisar dan Pangeran sadari. Kupikir jantungku hampir berenti saat saintess bilang jiwamu tertarik. Aku takut." Cerita Dexter kali ini sambil menahan emosinya. "Hanya aku yang tahu kalau kau berasal dari dunia lain. Aku takut kau kembali kesana dan meninggalkanku disini."

"Maaf." Sona kali ini menepuk punggungnya perlahan. "Dan terimakasih."

Setelah saling tertukar kata selama lebih dari setengah jam, Dexter akhirnya memberikan surat balasan dari Amore dan Alea yang sempat tertunda beberapa bulan.

"Jadi Nona Amore juga sama sepertimu." Dexter mengangguk pelan setelah mendengarnya dari Sona. Pantas saja tulisan asing di bagian depan amplop surat itu mirip dengan tanda tangan yang biasa Sona bubuhkan dilukisannya.

"Ah, dan juga. Papa sudah melihat semua ingatanku. Termasuk ingatanku saat didunia itu." Sona memberitahu Dexter.

"Eh?" Mata Dexter membulat kaget. "Tapi sepertinya dia sama sekali tak terpengaruh?"

"Itu benar. Dia melihat semuanya. Dan dia tak mengatakan apa-apa. Saat aku membahas hal itu, dia hanya diam dan memberikan senyuman kecil. Apa yang harus kulakukan?" Sona mengeluh.

Dexter mengernyitkan dahinya, "Aku yakin dia tak mempermasalahkannya. Yang terpenting sekarang, dia menyayangimu seperti sebelumnya. Dia sama sekali tak merubah sikapnya, benar?"

Sona mengangguk.
"Benar, yang terpenting adalah saat ini dia adalah orangtuaku satu-satunya didunia ini. Aku juga akan melakukan hal yang sama sepertinya."

"Pintar." Dexter dengan bangga menepuk-nepuk kepala Sona.

Sona menepis tangan Dexter, "Berhentilah melakukan itu." Katanya agak kesal. Mengingat Arjen, Hero, Genta dan sekarang Dexter selalu menepuk kepalanya seperti anak kacil.

Dexter mengalah dan berhenti menepuk kepalanya. Tapi tentu saja Dexter tak menyerah dan malah mengambil segenggam kecil rambut Sona lalu menciumnya dengan senyuman nakal.

"A-apa yang kau lakukan?!" Wajah Sona memerah dan langsung tergagap. Dia dengan cepat menarik rambutnya dan berusaha memukul dada Dexter karena kesal. Tapi Dexter dengan mudah menangkap tangan mungilnya dan langsung membawa tangan Sona ke pipinya.

Sona membeku, tak bisa melakukan apapun. Pikirannya kosong dan hanya menatap pada Dexter, yang kini tersenyum nakal padanya. Sesaat kemudian Sona makin terbelalak ketika laki-laki itu mulai mengecup telapak tangannya dengan perlahan.

"K-kau..." Sona tak bisa melanjutkan kata-katanya. Wajahnya benar-benar memerah seperti tomat.

Sisi telapak tangannya yang terkena bibir Dexter terasa panas. Sona tak bisa mengatur detak jantungnya yang kini menggila.

"Putri, kau milikku. Berjanjilah untuk menikahiku saat kau sudah melakukan upacara kedewasaan nanti." Bisik Dexter makin mendekati wajahnya pada Wajah Sona.

Sona ingin membalas pernyataan Dexter yang seenaknya itu, tapi dia tak mampu membuka mulutnya sedikitpun.

Dexter sangat sadar akan situasi Sona, tapi dia senang dengan hal itu. Dia malah memanfaatkan keadaan itu dan berkata, "Kuanggap diam mu sebagai 'ya'."

***

7 February 2021

Bad Princess (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang