(8) Sandiwara belaka.

6K 293 24
                                    

Kaca persegi yang tergantung di dinding berlapis cat gelap tampak memantulkan siluet seorang pemuda yang tengah bergelung nyaman dibalik selimut abu-abu tebal miliknya. Dengkuran halus terdengar menenangkan seiring tubuh atasnya bergerak pelan seirama.

Ruangan yang sengaja di warnai gelita itu menimbulkan kesan maskulin yang kentara. Pencahayaan yang redup menambah ketenangan merambati seluruh penjuru kamar. Membuat si pemuda enggan beranjak walau ia ingat hendak pergi menemui seseorang. Sampai suara seorang wanita menyeru sembari mengguncang tubuhnya pelan.

"Fa ayo bangun, sudah siang ini." Tubuh itu menggeliat, berdehem pelan kemudian menyauti suara seorang yang ia panggil Mama.

"Sepuluh menit, beri aku sepuluh menit." gumamnya masih terpejam. Kini Si wanita mulai berkacak pinggang menatap sebal sang putra. Tangannya kembali terulur menepuk-nepuk pipi pemuda di depannya.

"Cepat bangun Fa, ayo sarapan bersama. Hari ini Papah harus ke bandara loh, kamu lupa?"

"Lima menit lagi...." Karena geram mendengar tawaran sang anak, ia mencubit lengan kekar yang sedikit terlihat dari celah selimut. Ringisan pun langsung terdengar.

"Enggak ada lima apalagi sepuluh menit Akhtar! Cepat bangun lalu turun untuk sarapan. Atau kamu mau Mama kirim ke rumah Omah hah?!" Mendengar ancaman sang Mama, matanya melebar seketika. Pantang baginya untuk kembali ke rumah asalnya jika tak mau diperlakukan seperti bayi oleh sang Omah. Segera ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Sang Mama tersenyum geli, ternyata ancaman itu masih ampuh.

Setelah lima menit berlalu, akhirnya si pemuda itu turun. Kakinya melangkah menghampiri sang Mama dan Papah di meja makan. "Gila dingin banget airnya." ucapnya sambil memeluk tubuhnya sendiri.

"Kamu kan bisa pakai air hangat Fa, tinggal putar keran." Timpal sang Papah sambil melahap sarapannya.

"Oh iya lupa! Hehe...." Akhtar hanya bisa tersenyum jenaka memikirkan betapa bodohnya ia. Ini semua gara-gara ancaman sang mama yang membuatnya terburu-buru.

"Ada-ada saja kamu, sudah sini sarapan." Suara Alena-Sang Mama- menutup pembicaraan ketiganya.

Keluarga Giessen memang menjunjung tinggi tata krama, termasuk keheningan saat berada di meja makan. Apalagi ibu dari Farzan-Sang Papa- wanita tua itu benar-benar disiplin dan posesiv. Itu yang membuat Akhtar sangat takut jikalau dikirim ke sana.

"Fa jaga Mama kamu baik-baik yah, papah akan pulang minggu depan." Farzan menatap putranya serius.

"Tanpa Papah suruh pun aku akan selalu menjaga Mama." Mendengar nada dingin yang terselip dalam ucapan Akhtar, membuat Farzan menatap sang putra sendu. Ia hanya bisa tersenyum kecil. Dulu putranya selalu antusias saat berbicara dengannya, tetapi kini sungguh berbeda. Akhtar seperti menghindarinya, bahkan terkadang terang-terangan menunjukan kebenciannya. Farzan sadar, itu semua karena kesalahan yang telah ia lakukan.

"Ya sudah Papah berangkat dulu yah." Farzan mendekati Alena dan mencium kening serta memeluknya sebentar. Ia kembali menoleh, niat hati ingin memeluk sang putra juga, akan tetapi pemuda itu seperti sengaja menyibukkan diri dengan ponselnya tanpa melirik sedikitpun ke arahnya. Akhirnya Farzan hanya mengelus singkat surai Akhtar kemudian berlalu ke luar diikuti Alena.

"Untuk apa bersikap manis, kalau semua itu hanya sandiwara belaka." gumam Akhtar menatap punggung sang papah getir.

♧♧♧

"Weh bang! Bagi uang dong." ucap seorang gadis sembari menengadah tangan ke arah seorang pemuda yang tengah duduk santai memainkan ponselnya.

"Dihitung hutang yah, bunganya lima puluh persen."

Si gadis mencebik. "Ck, perhitungan banget lo sama adik sendiri."

Naefa [Selesai]Where stories live. Discover now