18. Nangis Bareng

167 38 12
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

Dari berbagai macam Universitas yang ada di kota ini. Shinta ternyata memilih Universitas ini yang sama dengan yang dulu pernah ia ceritakan padaku.

Dia ternyata menepati janjinya masuk Universitas ini. Begitu pun aku.

Yah, sebenarnya awal naik kelas dua SMA, aku dan Shinta sempat bercerita dan ternyata memiliki keinginan yang sama, yaitu masuk Universitas ini.

Dan itu terbukti sekarang.

Dia masih terlihat cantik. Bahkan lebih cantik. Dengan rambut hitam legam sepunggunya dan kulit putih yang kontras itu, dia terlihat menawan.

Shinta perlu beberapa saat mencerna keadaan. Dia menatapku lama sampai akhirnya berseru pelan, "Sasa! Astaga Sasa!"

Dan terjadilah sesi reuni dadakan.

***

Surat-surat telah selesai diantar. Banyak anggota organisasi yang tidak ada di basecamp mereka dan kami hanya meninggalkan surat-surat tersebut di atas meja yang ada di dalam basecamp.

Hari sudah siang, namun mentari masih tertutup awan. Meskipun tak semendung tadi, tapi sekarang lebih baik daripada terlalu terik.

Aku dan Shinta mengadakan reuni dadakan di salah satu kafe tepat di belakang kampus. Kami duduk di sudut dan memesan dua mangkuk es krim.

"Lo kapan balik ke sini Sa?"

"Tepat sebelum ujian masuk sini, gue udah daftar dan langsung balik. Tapi, ya tetep aja sih gue masuknya di tahun setelah kalian masuk."

"Gapapa, yang penting lo masuk sini."

Kami berdua sama-sama tertawa. Omong-omong, saat aku di Aussie, aku kembali mengulang sekolah dan jadinya saat kembali ke sini aku harus masuk satu tahun lebih lambat dari mereka.

"Udah ketemu Dito, Sa?"

Aku mengangguk dan lanjut makan es krim.

"Dia satu organisasi sama lo, kan?"

"Iya, kalau tau gitu mending gue ga usah ikut organisasi ini."

"Yee, jangan ngomong gitu. Ini tuh namanya takdir."

"Takdir yang sama maksud lo?"

Shinta terdiam, ekspresinya agak berubah dan aku menyesali ucapanku sendiri yang mungkin saja menyinggung perasaannya.

"Sorry, kayaknya gue salah ngomong." Aku segera mengambil tindakan. "Jadi, kenapa lo ngambil jurusan *dkv? Bukannya lo dulu bucin fisika?"

*dkv : desain komunikasi visual.

Shinta tertawa. Ekspresinya sudah tak sekelam tadi. Aku bersyukur dan bisa bernapas lega.

"Gue lebih suka gambar setelah lo pindah Sa."

"Jadi, gue yang melopori ini semua?"

Shinta tersenyum. "Bisa dibilang iya sih, tapi gue nyaman sama jalan hidup gue sekarang. Gak kaget-kagetan lagi kalau nilai gue turun. Gue nikmatin tiap prosesnya sekarang. Dan gue rasa, ini emang cocok sama gue."

Aku mengangguk khidmat. Akhirnya Shinta memilih fashion hidup yang membuatnya nyaman, bukan berambisi terus menerus yang malah membuat hidup tak ada gunanya.

Dua tahun aku pergi, ternyata memberi pengaruh. Shinta tak lagi mencintai Fisika yang kadang membuatnya marah padaku jika nilai Fisika ku lebih tinggi darinya, dia sekarang terlihat lebih hidup dengan kreatifitasnya di bidang desain. Dan yang terpenting, aku menaruh andil akan perubahan itu.

Bolehkan aku merasa sedikit bangga?

"Sa, tentang yang dulu gue mau minta maaf."

"Udahlah Ta, itu kan udah lewat juga."

"Meskipun udah lewat, semuanya juga perlu dilurusin. Bohong banget kalau lo udah gak mikirin itu lagi."

Shinta menembak dengan tepat sasaran. Aku dibuat diam dengan perubahannya yang ternyata seekstream ini.

Ia tertawa pelan mendapati perubahan ekspresiku. "Gue sama Dito gak pacaran. Dari dulu sampai sebelum lo pergi."

"Masa?" Aku menyela cepat.

"Please, dengerin gue dulu Sa."

Aku terdiam dan membiarkan dia kembali berbicara.

"Gue sama sekali gak ada hubungan apa-apa sama Dito. Kita cuma se excited itu ketemu lagi setelah sepuluh tahun gak ketemu. Kita ngobrolin banyak hal, ngelakuin banyak hal juga sampai lupa sama keberadaan lo. Kita udah salah, dan saat kita sadar yang kita lakuin salah, lo udah pergi."

Shinta memberi jeda sejenak untuk aku mencerna apa yang sudah ia jelaskan. "Maaf, maaf, dan sekali lagi maaf. Kita udah egois dan lupin kalau elo itu ada. Maaf atas semua kesalahan gue dulu Sa."

Sudut-sudut mata Shinta berair. Dan aku segera meraih tangan gadis itu lalu menggengamnya. "Jangan nangis elah. Kalau lo nangis gue juga ikut nangis."

"Yaudah kita nangis bareng-bareng."

"Kampret lo Ta." Aku tertawa pelan dan membiarkan sudut-sudut mataku berair dengan sendirinya.

***

[HS] Kembali Temu di Bawah Hujan (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang