39. Sepucuk surat.

1.6K 97 31
                                    

Play now
'Hilang Semua Janji'

____________

Setelah pemakaman istrinya di selenggarakan, Aidil kembali ke rumah sakit untuk melihat Puteri kecilnya yang ia beri nama Ulya AzzahratulFajri. Aidil tidak mau kalau Ulya merasa kesepian mulai detik ini hingga kelak ia dewasa.

Aidil menatap Puteri kecilnya dari balik kaca rumah sakit, Aidil menahan air matanya agar tak keluar saat di depan Ulya. Biar bagaimanapun, putrinya tidak boleh melihatnya bersedih meski hanya sebentar.

Aidil tersenyum, melihat Ulya bergerak di dalam tempat tidurnya. Rasanya begitu senang melihat manusia baru yang begitu bermakna untuknya. Tapi sayang, Ulya tidak akan pernah bisa merasakan hangatnya dekapan Ibunya untuk selamanya.

Seberapa pun usaha Aidil untuk menjadi yang terbaik, dirinya tetap tak akan pernah bisa menjadi seorang Ibu sekaligus Ayah untuk Puteri kecilnya. Lambat laun, akan tumbuh rasa iri di hati anaknya, meskipun Ulya tak akan pernah mengungkapkannya kepada Aidil kelak.

Perlahan Aidil mengangkat tangannya menutupi matanya, ia tak kuasa menahan air matanya saat ini. Dada Aidil terasa sesak, bahkan untuk hidupnya sendiri saja rasanya dia tak sanggup, bagaimana dirinya bisa berdiri untuk Ulya di masa depan nanti tanpa Zahra di sisinya?

Jika Zahra tak pergi karena penyakit Jantungnya, maka Allah mengambil Zahra karena pendarahan hebat yang dia alami setelah operasi melahirkan Ulya. Aidil terlalu bodoh, dirinya terlalu gegabah dan menyempelekan kuasa Allah. Harusnya Aidil sadar, sehebat apapun manusia untuk menyelamatkan Zahra jika kuasa Allah Zahra harus kembali, maka Zahra akan tetap kembali ke sisi yang kuasa.

"Maafin Appa nak, maafin Appa," lirih Aidil kepada Ulya. Meski Ulya masih bayi, Aidil yakin kalau anaknya bisa merasakan betapa sedih dan kecewanya Appa-nya saat ini.

Koridor rumah sakit tengah sepi, sehingga Isak tangis Aidil terdengar jelas oleh siapapun yang lalu, termasuk oleh Sabrina yang tengah memperhatikan Aidil dari sebalik dinding.

Air mata Sabrina ikut jatuh, menyaksikan Aidil yang menangis di hadapan Puteri kecilnya yang tak lagi memiliki seorang Ibu. Sabrina juga merasa sedih karena kepergian Zahra yang terlalu cepat dan terlalu tiba tiba baginya.

Sabrina berjalan menghampiri Aidil. Sabrına membawa kotak cokelat yang di amanah kan oleh Zahra untuk di berikan kepada Aidil dan Putrinya  setelah dia tiada.

"Aidil," panggil Sabrina lirih.

Aidil menghapus air matanya, kemudian membalikkan badan untuk melihat siapa yang memanggilnya. "Iya ada apa?"

Sabrina memberikan sebuah kotak cokelat kepada Aidil. "Ini, amanah Zahra," Sabrina juga memberikan sebuah kertas untuk Aidil. "Dan ini, untuk kamu."

"Kertas apa ini?"

Sabrina menggeleng. "Kamu bisa baca sendiri, dan nanti kamu akan tau apa isinya."

"Makasih ya Sab."

Sabrina mengangguk. "Kalau gitu aku pergi dulu ya," pamit Sabrina kemudian dia pergi meninggalkan Aidil. Sabrina tak bisa berlama-lama di sana, dirinya bisa saja menangis lebih keras daripada Aidil.

Aidil membuka kertas yang di berikan Sabrina, dan sontak air mata Aidil semakin deras. Bahkan untuk berdiri saja rasanya tak sanggup.

Dear suamiku.
Dear Imamku.
Dear Ayah Puteriku.
Dear manusia hebat yang pernah aku miliki.

Hapus air matanya, aku enggak mau lihat kamu nangis apalagi di depan anak kita. Ayo dong senyum.

Kamu harus  janji ke aku kalau kamu bakalan kuat, kamu janji harus terus berdiri teguh dan kamu janji untuk selalu menjadi sosok yang melindungi Ulya sampai kapanpun.

Tulang rusuk dokter Aidil (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang