46 || Jatuh Cinta

3K 484 29
                                    

"Gam ... Bella enggak apa-apa, kah, kalau kita jalan? Gue enggak enak aja, biasanya, kan, lo selalu sama dia."

"Emang, Bella bakal kenapa?"

"Cemburu(?)"

"Dia sama Devan, harusnya senang, kan?"

"Iya, sih."

Bukan begitu maksud Hanna. Kadang, seseorang tak perlu mengatakan bahwa ia suka sama si A untuk bisa cemburu jika si A sedang bersama seseorang yang lain.

Cukup hanya dengan embel-embel pertemanan; jika si A tiba-tiba dekat dengan seseorang meninggalkan si B yang sudah terbiasa menghabiskan waktu dengannya, si B bisa saja merasa cemburu dengan alasan temannya direbut. Mungkin terkesan egois, tapi itu yang ada di pikiran Hanna.

Mencoba membuang jauh-jauh pikiran buruknya, Hanna menikmati pemandangan di depan sana. Banyak yang sedang piknik menggelar tikar dengan keluarga lengkap; anak, ayah, dan ... ibu. Bagaimana senyum di wajah mereka, bagaimana kebahagiaan terlihat jelas dari senyum lebar itu membuatnya teringat sesuatu.

Mama ....

Banyangan masa lalu menghantui cewek itu, teringat oleh mendiang Mama yang dulu selalu menyayanginya, membelai rambunya sebelum tidur, menyemangati di saat lelah dengan urusan sekolah, menyambutnya di depan pintu kala pulang, memeluk ketika menangis karena Daren mengusili, atau mengobati lututnya yang berdarah setelah terjatuh. Kenangan-kenangan itu terasa masih baru di kepalanya sampai tak sadar ia mulai menitikkan air mata. Buru-buru cewek itu menyeka, tak mau jika Gamma mendapatinya menangis.

"Gam ... kita pulang aja, ya?" pintanya sambil menoleh pada cowok yang sedang menikmati es krim cokelat.

"Kenapa, Han? Enggak betah?"

Hanna menggeleng, bola matanya berputar 180 derajat untuk mencari alasan. "Bukan kok. Hmm ... pengin pulang aja."

Gamma memperhatikan lekat-lekat membuat cewek itu jengah dan tidak membalas tatapannya. Gamma mengernyit merasa ada sesuatu yang salah. Dia sedikit memutar tubuhnya menghadap Hanna.

"Mata lo agak merah. Nangis?"

Pandangan Hanna terangkat sedikit kaget, lalu menggeleng cepat. Dia mengucek pelan kedua matanya. "Tadi cuma enggak sengaja kemasukan debu."

"Jangan dikucek!" Gamma menghentikan pergerakan tangan Hanna dan melepaskan perlahan dari wajahnya. "Bohong, kan? Mau cerita?"

Hanna pasrah. Ia mengempaskan pelan punggungnya pada sandaran kursi taman. Meletakkan kedua tangannya di atas paha sambil memandangi es krim yang mulai mencair di tangannya. "Gue ... kangen Mama."

Tidak mau dikasihani oleh Gamma, Hanna buru-buru menyeka air matanya.

"Kenapa? Han ... setiap orang ada titik lemahnya. Dan hati adalah titik lemah kebanyakan orang, apalagi perempuan lembut kayak lo. Nangis aja, anggap gue lagi enggak ada dan orang-orang di depan sana cuma sekumpulan semut. Atau kalau lo butuh sandaran, nih bahu gue kosong."

"Ih, apaan ... geli banget dengernya," elak Hanna diselingi tawa kecil di bibirnya.

Gamma tertawa renyah. "Oh, iya, Han. Novelnya udah lo baca?"

Hanna menggeleng. "Belum. Abis olimpiade, deh. Dua-duanya belum gue baca kok."

Gamma mengangguk paham. Keduanya kembali menikmati es krim di tangan masing-masing. Pandangan kembali tertuju pada beberapa keluarga di depan sana. Rasa rindu itu kembali, tetapi kali ini bisa lebih dikontrol agar tidak terlalu terbawa emosi.

"Gam ... lo juga lagi jauh dari orang tua. Enggak kangen?"

"Kangen."

Hanna menghela napas panjang merasa kalah. "Bener, ya, kalau cowok itu susah nangis? Lo juga tipe kayak gitu?"

GARIS LURUS [COMPLETED]Where stories live. Discover now