I - Terutama yang Cantik

764 174 65
                                    

Fakri

AKU BENCI WANITA. Bukan maksud aku ini gay. Kau tak bakal menemukanku di daftar keanggotaan LGBT sekalipun kau mengubek-ubeknya tujuh hari tujuh malam. Bukan berati aku kena kebiri juga. Meskipun mentalku kurang sedikit (mesti diakui), fisikku lengkap sempurna.

Ini ... ini lebih ke filosofi. Jalan hidup. Pengalaman menyadarkanku; logika menuntunku. Kecuali dia "tak beres", nyaris segenap umat adam rapuh di hadapan perempuan. Apa lagi yang cantik. Apalagi yang lemah. Apa lagi yang pemalu. Apalagi yang polos. Apa lagi yang manis. Kasih mereka kedipan sedikit, dan tamat sudah riwayatnya!

Bertahun-tahun (ehem!) aku meninjau fenomena mengerikan ini dengan kekhawatiran yang kian membuncah. Mulanya aku bingung, resah, gelisah. Apa yang harus kita lakukan untuk menghindari perangkap manis ini? Apa yang mesti kita perbuat supaya terhindar dari perbudakan (puh!) cinta? Apa tak ada? Apa Teori Evolusi lagi-lagi memvonis sifat yang satu ini sebagai hasil saringan jaring-jaring eliminasi?

Tidak! Aku tak setuju! Keparat kau Charles Darwin! Pasti masih ada cara! Pasti!

Dan berbahagialah, karena kenyataanya ... memang begitu!

Aku sedang bantu dorong mobil mogok kala itu. Mulanya, susah anjing edan untuk buat itu mesin rongsok bergerak. Tapi, begitu sudah gerak, mudah saja untuk membuatnya makin cepat. Untuk jasa tadi, aku dibayar lima ribu—tapi bukan itu yang ingin kusampaikan!

Jangan memulai. Itu jawabannya. Jangan memulai; hatimu lebih kokoh ketika diam. Jangan memulai; bimbang menyerang jiwa yang bergerak. Jangan memulai; atau kau bakal kesulitan berhenti. Seperti halnya Hukum Newton nomor satu: inersia. "Benda yang diam akan cenderung untuk tetap diam dan benda yang bergerak akan cenderung untuk tetap bergerak."

Pada tahun itu, Filosofi Anti-betina lahir: "Jauhi wanita, terutama yang cantik, yang jelek sudah jelas."

Dengan menggenggam erat falsafah tersebut, terbukti, aku berhenti jatuh cinta. Aku tak lagi memiliki obsesi. Aku mampu melihat fakta secara apa adanya. Ketika seseorang bertanya siapa sosok paling berharga bagiku, maka dengan dagu terangkat dan dada membusung aku menyahut: "Aku!"

Egois?

Ya, tentu saja. Kenapa tidak? Itu manusiawi. Itu sifat sejati. Itu ... alami.

Aku percaya filosofiku mampu menolak segala bala kaum hawa, pelindung dari dunia yang celaka. Aku percaya dengan sepenuh hati, aku percaya layaknya para mahasiswa percaya pada revolusi dan konspirasi. Dalam jangka waktu tertentu, itu memang terbukti. Hanya untuk jangka waktu tertentu, sayangnya.

Suatu hari, semuanya berubah. Kesialan menimpaku.

Ini menggemparkan! Ini ... di luar perhitungan. Aku makhluk pasif. Aku golong putih sejati. Aku menangkis setiap obrolan sensitif. Aku mengelak dari segala ikatan—dari segala potensi pergesekan. Aku merdeka dari komunitas. Aku taat aturan. Aku anak paling baik, paling saleh, paling teladan, paling berbakti, paling ramah, dan paling rendah hati yang bisa kau temukan di muka bumi.

Meski begitu, setelah segala hal yang telah aku usahakan, tetap saja Tuhan menimpakanku masalah. Oh, alangkah "baiknya" Engkau, kataku dengan tangis di mata.

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaWhere stories live. Discover now