1

18.8K 1.7K 65
                                    

Ammar menunduk, berusaha menyembunyikan wajah bosan dari pandangan orang-orang di sekitarnya. Pola abstrak dari karpet yang diinjak lebih menarik daripada apa yang terjadi tiga langkah darinya.

Putri, wanita 26 tahun yang baru tadi siang resmi menjadi istrinya, sedang berlutut di depan Khadijah, ibunya. Isak terdengar, meskipun Putri telah menutup mulut dengan tangan yang berhias inai.

"Putri mau pulang," rengek wanita berhijab merah muda pucat yang senada dengan gaun pengantin. Ammar sudah tiga kali mendengar rengekan meminta pulang itu dari tadi siang. Tiap kali ada kesempatan berdekatan dengan ibunya, Putri akan merengek seperti anak kecil. Satu-satunya yang bisa Ammar lakukan hanyalah diam dan berpura-pura memperhatikan.

Seminggu lalu, ketika Khadijah mengatakan, "Putri terlalu lengket dengan Ibu. Sekitar lima tahun ini, kami selalu bareng. Jadi mungkin, kamu nanti agak repot. Sebenarnya, Putri sudah minta untuk tetap tinggal di rumah Ibu setelah kalian nikah." Wanita berkursi roda itu memperhatikan anaknya sedang berputar dengan senyum ceria ketika mencoba gaun pengantin. "Tapi, Ibu mau, Putri belajar jadi istri sepenuhnya."

Waktu itu Ammar tidak berkomentar apa pun. Ibunya yang menjawab ucapan Khadijah, mengatakan bahwa Ammar adalah sosok yang "ngemong" sehingga calon besannya tidak perlu khawatir. Ketika para wanita mulai mengagumi pola rumit bordir di seragam pengantin, Ammar menyisih, memilih mengoreksi skripsi mahasiswa bimbingannya melalui ponsel.

"Mas Ammar."

Kegiatan mengamati karpet hotel terhenti ketika ibu mertua memanggil Ammar dengan lembut. Meskipun merasa tidak nyaman dengan sikap istrinya, Ammar tidak menunjukkan. Dia tidak ingin menyakiti perasaan para orang tua yang telah menjodohkan mereka.Dia yakin, dia akan mengecewakan mereka suatu hari nanti, tapi saat ini dia tidak ingin merusak kebahagian yang tercipta.

"Titip Putri, ya." Pinta itu disampaikan penuh harap. Khadijah tengadah dari kursinya, menatap Ammar bagai melihat pahlawan yang akan menyelamatkan anaknya. Lelaki itu terpaksa tersenyum, lalu membantu Putri berdiri. Tangannya kikuk menepuk pundak Putri, berharap tangis istrinya mereda.

Dia ingin merangkul, tapi sepertinya itu akan berlebihan. Sentuhan pertama mereka adalah ketika Putri mencium tangannya setelah dinyatakan resmi sebagai suami istri, setelah itu, tidak lagi. Bahkan ketika fotografer meminta mereka untuk menampilkan pose mesra, Ammar tetap berdiri kaku. Sedangkan Putri menunduk malu-malu, sampai akhirnya fotografer menyerah.

"Insyaallah," ucap Ammar ragu. Biasanya, dia akan mengucapkan kata itu dengan yakin, sungguh-sungguh. Dia akan berusaha memenuhi janji, dan mengatakan insyaallah dengan harapan penuh bahwa Allah akan mengizinkannya. Namun, kini dia rasanya seperti penipu yang membawa nama Tuhan untuk menyempurnakan muslihat.

"Jadi istri yang baik. Mas Ammar sekarang suamimu. Baktimu ke Mas Ammar lebih utama daripada baktimu ke Ibu. Dia bukan cuma duniamu, tapi juga akhiratmu."

Tangis Putri sedikit mereda, seiring beban yang makin terasa di pundak Ammar.

Kursi Khadijah didorong oleh perawatnya yang selalu mendampingi, menuju lift. Beberapa saudara Putri berpamitan seraya mengulang selamat. Ayah-Ibu Ammar sudah meninggalkan hotel dari satu jam lalu. Meninggalkan Ammar berdua saja dengan istrinya.

***

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Ammar berusaha tetap sabar dengan tangis Putri yang belum juga berhenti setelah tiga puluh menit mereka berada di kamar suit yang menjadi kamar pengantin mereka.

Hiasan handuk berbentuk angsa dan kelopak bunga yang tersebar di atas ranjang dan lantai membuat Ammar jengah. Aroma bunga bukan wangi alami yang biasa dia cium ketika sedang di rumah kaca melainkan telah diperkuat dengan minyak sintetis yang menusuk hidung. Langit Jakarta telah gelap di balik jendela yang tirainya masih dibiarkan terbuka. Mereka berdua duduk berseberangan di sofa yang disediakan di area ruang tamu kamar.

"Maaf," Putri masih merengek. Tisu di tangannya telah basah. Riasan tipis Putri terhapus bersama air mata. Selurupth wajah, hingga ujung hidung dan bola mata memerah karena terlalu lama menangis. Napasnya mulai sesak, tapi wanita itu berusaha keras mengatur napas.

Ammar tidak ingin peduli dan memberi harapan palsu, tapi dia tetap berjalan ke mini bar di salah satu sudut kamar. Menuangkan air mineral ke gelas yang disediakan lalu memberikan kepada Putri yang menerimanya dengan tangan bergetar.

"Kita butuh bicara." Ammar kembali duduk di tempatnya, menjadikan meja kopi sebagai pembatas di antara mereka. Menatap istrinya serius, dia sudah mulai lelah mendengar sedu sedan.

Putri berusaha lebih keras untuk mengendalikan isak. Air mata dihapus sepenuhnya. Helaan napas terdengar beberapa kali. Minum yang tadi diambilkan Ammar mulai diminum perlahan. Ketukan gelas pada permukaan meja kopi mengakhiri tangis Putri.

"Bagaimana pun caranya, apa yang akan saya sampaikan ini akan menyakiti kamu." Ammar mengambil sebuah map dari tas punggung yang sedari tadi dia letakkan di dekat sofa tempatnya duduk. "Saya belum ingin menikah." Map diletakkan di meja.

Alis Putri tertaut ketika mendengar kalimat Ammar. Wajah sedihnya telah berubah menjadi bingung, tapi wanita itu tidak mengatakan apa pun.

"Alasan saya menerima perjodohan ini, karena Bapak-Ibu meminta saya. Saya juga tidak tega menolak permintaan Bu Khadijah, ibumu."

Pagi tadi, rasanya Ammar tidak ingin datang ke hotel ini untuk melangsungkan akad dan resepsi. Langkahnya enggan ketika mengikuti ayahnya. Namun, dia tetap menjalaninya. Mengucapkan janji seberat gunung Tursina di hadapan penghulu, saksi, dan para tamu. Semata-mata tidak ingin membuat malu dan kecewa keluarganya.

"Saya bisa berpura-pura di luar sana, tapi akan tidak adil untuk kamu dan berat untuk saya, jika saya melanjutkan sandiwara ini. Saya tidak sesaleh lelaki yang diceritakan Ibnul Qayyim, yang berpura-pura buta demi menjaga hati istrinya." Ammar memandang kedua telapak tangan yang sedari tadi saling remas. Dia akan mengecewakan banyak orang, dia bahkan telah kecewa pada dirinya sendiri.

Jika pernikahan ini ditunda tiga-empat tahun lagi, mungkin kondisinya akan berbeda. Meskipun Putri tidak memenuhi kriteria idealnya sebagai istri, Ammar mungkin bisa berusaha untuk membangun rumah tangga bersama. Namun, saat ini ada banyak tanggung jawab yang sedang memenuhi pundaknya. Dia tidak punya waktu untuk pernikahan, untuk mengurusi Nona Besar di hadapannya. Rengekan Putri dari tadi siang sudah menyita hampir seluruh kesabarannya. Ada banyak hal yang harus dia urus, dan seorang wanita yang selalu merengek tidak termasuk di dalamnya.

Ammar memperhatikan Putri, bersiap wanita itu untuk menangis lagi. Dia sudah akan menebalkan telinga. Namun, istrinya hanya memandang Ammar, diam.

"Ini yang aku tawarkan." Ammar membuka map, menunjukkan perjanjian yang sudah dia tandatangani, mendorongnya hingga tepat di depan Putri. "Sebaiknya, kamu setuju." Lelaki itu mulai memerintah.

"Putri nggak bisa tanda tangan ini." Wanita itu mendorong map kembali ke tengah meja setelah membaca sesaat. Kepala berbalut hijab itu menggeleng kuat. Ammar menghela napas, tidak tahan dengan sikap kolokan wanita di depannya.

"Ini akan menjaga hati orang tua kita ...."

"Pernikahan berlangsung selama enam bulan," Putri membaca pasal pertama, mengabaikan ucapan Ammar. "Kompilasi hukum Islam yang berlaku di Indonesia nggak mengakui penetapan jangka waktu pernikahan. Poin ini juga bertentangan dengan tujuan pernikahan yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan." Putri mengucapkannya dengan tenang. Meski suaranya masih serak tapi tidak ada rengekan. "Meskipun Putri tanda tangan perjanjian ini, tapi secara hukum perjanjian ini tidak sah, karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian: sebab yang diperkenankan."

Ammar terpaku, merasa tidak mengenali wanita di depannya. Nona Besar Manja yang selama ini muncul di depannya bersembunyi, digantikan sosok lain yang belum pernah Ammar lihat.




a/n: Jadwal Update: seminggu 1x

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon