2

12.8K 1.5K 55
                                    

"Malam pengantin, tapi malah telepon aku. Kutebak: kamu benar-benar jalani rencana itu," suara usil Rafi memenuhi telinga Ammar menggantikan nada tunggu.

"Rencana bodohmu!" Ammar menyandarkan tubuh di sofa. Putri masuk kamar setelah penjelasan panjangnya tentang syarat sah perjanjian. Wanita itu tak lagi menangis, tapi juga tidak membantah atau mempertanyakan keputusan Ammar lebih lanjut. "Aku lebih bodoh karena ikut. Dan Putri cukup pintar untuk bicara tentang hukum positif Indonesia. Dia tidak setuju"

"Aku cuma bercanda waktu itu. Kamu yang menganggap terlalu serius." Rafi berusaha membela diri.

"Apa kamu yakin, dia mahasiswamu yang drop out?" Ammar ingat reaksi terkejut Rafi, sahabat dekatnya sesama dosen, ketika menyerahkan undangan dan melihat nama lengkap Putri.

Dulu ketika dia masih kuliah S1 dan menjadi asisten dosen, Rafi pernah memberikan nilai D untuk Putri di kelas lab akuntansi. Nilai itu dan nilai mahasiswa yang lain, dia serahkan pada dosen sesungguhnya. Namun, entah bagaimana nilai tersebut berubah menjadi C+. Hanya nilai Putri saja yang berubah, tidak dengan teman-teman sekelasnya. Ketika Rafi menanyakan pada dosen bersangkutan, dosen itu hanya meminta Rafi agar diam. Semester berikutnya, Rafi mendengar jika Putri drop out, kali ini bukan sekadar masalah nilai, tetapi juga kehadiran yang sangat kurang.

Ammar percaya cerita Rafi ketika itu. Meskipun sering bercanda, tetapi lelaki itu bukan pembual yang sering menyebarkan kebohongan.

"Aku ingat betul namanya, Mar. Nirmala Putri Cahaya, membekas banget di otakku. Tapi kalau kamu mau kirim foto kalian berdua di pelaminan untuk memastikan, boleh. Siapa tahu namanya aja yang sama, tapi wajahnya beda."

Ammar tidak menjawab, memilih memijat pangkal alis. Kepalanya mulai pusing memikirkan seluruh kejadian hari ini.

"Kutebak, kamu nggak punya foto kalian berdua."

"Untuk apa?" tanya Ammar retoris.

"Kalau aku nggak harus berangkat Malaysia tadi pagi, aku bisa memastikan kalau dia benar-benar mahasiswaku sekaligus ucapin selamat secara langsung." Tawa Rafi pecah, menertawakan nasib temannya.

"Jangan berandai-andai." Ammar mengulang nasihat Rafi beberapa hari lalu, ketika mulai mengeluh dan berandai-andai dia tidak menyetujui permintaan Ayahnya dari awal.

"Nasihat itu untukmu, Mar. Jangan berkata, 'Seandainya aku dulu berbuat begini niscaya akan menjadi begini dan begitu'. Tapi katakanlah, 'Qaddarallohu wa maa syaa'a fa'ala, Alloh telah mennakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya'."

Dada Ammar berat, tapi tidak membantah ucapan sahabat yang sering menjadi tempatnya meminta pendapat. Jari kirinya tetap memijat kening yang makin pusing.

"Kalau memang dia nggak setuju dengan perjanjian yang kamu ajukan, ada satu cara lagi."

Ammar bersiap mendengarkan dengan seksama, tapi juga sudah mengantisipasi kejahilan Rafi yang lain.

"Baarakallaahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakuma fii khaiir." Terdengar tawa usil di penghujung doa pernikahan itu, Ammar menghela napas berat."Jika pernikahan ini memang harus kamu jalani, aku berharap keberkahan memenuhi pernikahan kalian. Kita nggak bisa tebak bagaimana bentuk keberkahan itu, Mar. Tapi, lapangkan hati biar setiap kebaikan yang muncul dapat kamu terima."

"Siap, Pak Ustaz!" ucap Ammar pada akhirnya, ingin segera mengakhiri pembicaraan. Dia tahu, dia butuh nasihat, tapi tidak saat ini.

"Mungkin ini cara Allah agar kamu menghadapi kekhawatiranmu, Mar."

"Entahlah, Raf. Aku masih mau fokus ke yang lain dulu." Ammar tetap ingin menyangkal. Dia tidak ingin rencana yang telah dia susun setahun terakhir berantakan karena kehadiran Putri. "Udah ya." Ammar hendak memutus telepon . "Aku masih harus koreksi skripsi mahasiswaku, yang seharusnya selesai tiga hari lalu kalau aku nggak sibuk ngurusi pernikahan."

Rafi berdecak keras, "Andaikan semua dosen kayak kamu, Mar. Nggak akan ada mahasiswa terkatung-katung karena dosbimnya sering menghilang." Tawa ringan terdengar dari seberang. "Ohya, satu lagi. Kalau kamu terganggu soal Putri mahasiswa yang drop out itu atau nggak, tabayyun langsung aja. Itu akan lebih baik daripada tebak-tebak."

Sambungan ditutup setelah mereka berdua saling tukar salam. Ammar memandang ponselnya sesaat, lalu memandang pintu pembatas area kamar dan ruang tamu. Masih ada celah yang Putri sisakan untuknya jika dia ingin masuk. Namun, Ammar memilih tetap di tempatnya.

Dia mengambil baju yang dibawa di dalam tas punggung, mengganti baju resepsi dengan kaos dan celana panjang yang lebih nyaman, membersihkan diri di toilet tamu. Lalu menyibukkan diri dengan laptop untuk mengoreksi tugas para mahasiswanya.

***

Bibir Putri membiru, itu yang pertama kali dia sadari ketika bercermin di kamar mandi. Dia tidak tahan dengan air dingin, tapi tadi dia tak sempat mengatur suhu air. Wajahnya sembab, jejak tangis yang mungkin akan bertahan sampai besok. Handuk membungkus rambut, dan jubah mandi membalut tubuh. Ragu, dia meraih kenop pintu kamar mandi.

Saat pintu terbuka, Putri tetap tidak mendapati Ammar di kamar. Melangkah pelan, dia menuju pintu penghubung kamar dan ruang tamu. Celah yang tadi sengaja dia tinggalkan, tidak berubah. Dari sana, dia bisa melihat suaminya. Lelaki berumur tiga puluh tahun itu sedang duduk di sofa tamu dengan laptop di pangkuan.

Menghela napas, Putri kembali ke ranjang. Duduk di antara kelopak bunga.

"Putri tidak akan tanda tangan perjanjian ini. Kalau Mas Ammar, tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, hak talak ada di Mas Ammar. Tapi, kalau Mas Ammar berubah pikiran...," Putri berusaha agar suaranya tidak bergetar. Berusaha tampil tegar ketika seluruh tubuhnya gemetar. "Putri nggak akan kunci pintu kamar."

Setelah mengucapkan itu, Putri melangkah berat ke kamar tidur dan segera menghilang ke kamar mandi. Berusaha membasuh kesedihannya dengan aliran air hingga bibirnya biru.

Celah pintu masih menyalurkan cahaya ruang tamu yang lebih terang. Seharusnya sekarang Putri lega karena tidak harus menjalani malam pengantin yang selama beberapa hari ini menghantuinya. Hanya saja, dia tidak pernah berpikir akan berakhir seperti saat ini.

Dia meraih ponsel yang tadi diletakkan di nakas. Nomor ponsel ibunya telah dia atur sebagai panggilan darurat, sehingga tanpa membuka kunci layar, dengan mudah Putri bisa menelepon. Jari Putri melayang di atas layar. Namun, panggilan tidak pernah terjadi malam itu. Dia tidak ingin membuat ibunya sedih. Dia tidak ingin merusak ketenangan yang muncul di wajah Khadijah saat tadi berbicara dengan Ammar sebelum meninggalkan hotel.

Air mata yang berhasil berhenti, kini kembali merebak. Dia ingin bicara dengan ibunya. Rindu hangat tubuh yang selama ini dia rasakan tiap malam. Rindu aroma rambut beruban. Rindu tangan keriput yang selalu dia genggam sebelum terpejam.

Isaknya menguat. Saat ini, dia hanya ingin bersama ibunya.



---

A/N:Part 3 kayaknya bisa diposting minggu ini juga...

Minta pendapatnya ya, ini pertama kalinya aku nulis dengan unsur religi yang agak kental. Menurut pembaca budiman, terasa terlalu menggurui atau nggak?

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanWhere stories live. Discover now