35

3K 493 22
                                    

"Bagaimana harimu?"

Ammar benar-benar tulus ketika menanyakan itu, tetapi ketika dia mendengar pernyataan Putri, ada hangat asing yang memenuhi dadanya.

"Dari kemarin, Mas cuma tidur dua jam."

Rasanya menyenangkan, ketika seseorang memperhatikan detail kecil yang Ammar sendiri sering lupakan. Ketika seseorang memberinya jeda dari semua kesibukan, tidak menuntut.

"Sepi," ujar Putri lirih. Ammar hanya memandang wajah sendu wanita di depannya. Di antara semua ceria dan kolokan yang sering ditunjukkan, ada kalanya serpihan sendu dan serius muncul di permukaan. Putri bukan Nona Besar Manja yang dulu Ammar pikir.

"Apa yang bisa kubantu?" Ammar meletakkan sendok, makanannya telah habis.

"Kalau Putri bilang, 'Jangan terlalu sibuk kerja, temani Putri terus.'"

"Mas Ammar bisa temani Gadis?"

Tenggorokan Ammar tersekat. Tangannya tergenggam, berusaha bertahan di masa kini, tidak ingin kembali terseret ke masa lalu.

Namun, ada beberapa hal yang sulit Ammar tolak. Ada sepi yang selalu dia ingin isi.

"Besok, aku bisa ambil cuti."

Kali ini, tidak ada sorak ceria, tidak ada kilat mata bahagia.

Wanita di depannya tersenyum, tapi senyum yang berbeda.

"Putri cuma bercanda. Besok sudah Jumat juga. Sabtu, Mas nggak ke kampus, 'kan?"

"Nggak."

Putri menarik napas panjang, meregang tangan lebar.

"Itu cukup."

Bagi Ammar, itu tidak cukup.

"Putri berjanji pada diri Putri sendiri, selama sisa waktu yang ada, Putri nggak akan ganggu kerjaan Mas Ammar."

Ammar tidak tahu harus menjawab apa.

"Mas Ammar istirahat, gih!" Wanita itu mulai berdiri, hendak mengambil piring kotor di depan suaminya. "Putri sudah mau tidur."

"Aku saja." Ammar ikut berdiri, mengangkat piring sebelum Putri menjangkaunya. "Aku cuci piringnya besok pagi, ya."

Dia melangkah ke dapur, berusaha menenangkan pikirannya yang kalut. Mungkin, Ammar hanya terlalu lelah. Untuk sesaat, dia lupa perjanjian mereka. Untuk sesaat, dia rela kembali masa itu, berusaha menjadi pahlawan untuk seseorang yang kesepian, berharap hasil yang berbeda kali ini.

Saat Ammar melangkah keluar dapur, Putri masih berdiri di samping meja makan. Perempuan itu sedang menggelung rambut. Untuk seorang yang bertubuh kecil, leher Putri terlihat jenjang. Rahang dan tulang pipinya tegas, khas bagian Indonesia timur. Bulu mata tebal membias cahaya lampu di atasnya, menciptakan bayangan yang jelas di bawah mata. Bibir kecil dan tebal itu digigit, ketika pemiliknya fokus menangkup seluruh helaian rambut.

Mata Ammar enggan berkedip. Debar asing yang sering muncul beberapa hari terakhir, mulai mengganggu. Kakinya melangkah tanpa perintah. Saat pandangan mereka bertemu, mata mereka terkunci. Putri menatap dengan raut penasaran yang sama.

Lima langkah, itu yang dibutuhkan Ammar untuk menggapai Putri. Namun, dia memilih mundur, mencari sesuatu mengalihkan pikiran.

"Mas Ammar nggak akan lembur, kan?" tanya Putri khawatir ketika Ammar meraih tas kerjanya.

Ammar tertawa kikuk, dia hanya membuka tas secara asal, tidak berniat bekerja malam ini.

Sebuah kotak terbungkus plastik hitam dia keluarkan. Tadi dia membelinya dalam perjalanan pulang. Ketika dia melihat papan nama apotek, dia langsung menepikan mobil, teringat pada Putri.

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanWhere stories live. Discover now