5

10.7K 1.3K 37
                                    

"Macetnya Bogor nggak pernah berubah ya." Setelah hampir 45 menit perjalanan, Putri akhirnya membuka suara. Wanita itu meregangkan tubuh, melepaskan perangkat jemala yang sedari tadi menutup telinga di balik hijabnya. "Kalau naik KRL pasti sudah sampai dari tadi."

"Kamu mau angkat-angkat sendiri kopermu naik turun tangga?" Ammar menarik tuas rem tangan. Antrian mobil di depan sepertinya akan lama, sebaiknya dia mengistirahatkan kaki. Perjalanan Jakarta-Bogor selalu membosankan. Tanpa sadar dia mengikuti apa yang Putri lakukan, menarik napas perlahan lalu meluruskan punggung. Meregangkan ruas-ruas tulang punggungnya yang terasa lelah.

"Kapan fasilitas umum di Indonesia bisa ramah untuk semua orang? Jalur untuk difabel masih jarang, terlalu banyak tangga," Putri menggerutu, kepalanya bersandar pada kaca mobil. "Jadi kangen jalan-jalan di Eropa."

"Ke Eropa lihat apa? Wisata di Indonesia banyak yang lebih bagus." Entah mengapa Ammar menjadi defensif pada Nona Besar di sampingnya. Ammar jarang pergi keluar negeri, apalagi jika alasannya untuk wisata atau jalan-jalan. Dia terlanjur jatuh cinta dengan pemandangan alam Indonesia. Mulai dari pantai hingga gua-gua di dalam hutan. Bahkan, hamparan lahan sayuran yang rutin dia kunjungi berhasil mengalahkan kota-kota tua di Eropa.

"Bagus, tapi susah dikunjungi. Untuk apa?" Putri memandangnya, cemberut.

"Asal kamu ...."

"Jalur khusus kursi roda masih jadi kemewahan di Indonesia."

Kalimat itu membungkam Ammar. Hampir saja dia berkata, "Asal kamu punya tubuh yang sehat, ada banyak objek wisata tersembunyi yang bisa kamu datangi."

"Kamu selalu bepergian dengan Ibumu? Nggak pernah coba pergi sendiri?" Ammar melirik Putri yang sedang memainkan wadah perangkat jemala tanpa kabel di tangannya.

"Nggak pernah," wanita itu menjawab lirih, "Putri takut kalau pergi sendiri."

Ammar menghela napas. Wanita di sampingnya benar-benar seperti anak kecil. Ammar tidak yakin akan memiliki kesabaran untuk berada di sampingnya dalam waktu yang lama. Dia tidak ingin ada wanita manja lagi dalam hidupnya.

***

"Kita pisah kamar," ucap Ammar sembari membuka pintu rumah. Rumahnya berada di lingkungan cluster sehingga tiada pagar, melainkan langsung carport dan halaman.

"Putri tahu, kok." Wanita itu memainkan ujung jilbabnya. "Setelah semalam Mas Ammar kasih surat perjanjian dan nggak masuk ke kamar, akan aneh kalau sekarang kita sekamar."

Ammar tidak membalas ucapan Putri, dia hanya menarik dua koper besar milik istrinya, berjalan masuk melewati ruang tamu, hingga ruang tengah. Rumah ini telah dia miliki sejak tiga tahun lalu. Namun, dia jarang tinggal di sini. Ammar memilih tinggal di indekos dekat kampus tempatnya mengajar. Lebih mudah untuknya dan juga memudahkan mahasiswanya jika ingin konsultasi di luar jam kerja, tidak perlu berhadapan dengan macet di jalanan Kota Seribu Angkot. Rumahnya hanya dikunjungi seminggu sekali, memastikan tetap bersih.

Sebulan lalu, ketika Putri setuju dengan pernikahan mereka dan meminta akad dilangsungkan secepatnya, ibu Ammar yang sibuk mengisi bangunan kosong ini menjadi rumah yang sesungguhnya. Yang awalnya hanya ada satu tempat tidur, satu lemari, dan karpet, kini telah terisi lengkap. Mulai dari kamar tidur utama, kamar tidur tamu, peralatan dapur yang Ammar tak tahu untuk apa saja, hingga home theater.

"Mamah kirim hadiah pernikahan, kalau kamu nggak mau, itu buat Putri. Jangan bikin anak orang susah demi ngikuti gaya hidupmu. Kalau bisa, kamu cari pembantu juga." Itu yang dikatakan ibunya ketika menyuruh ke rumah ketika Ammar sedang sibuk memberikan bimbingan skripsi kepada mahasiswanya di ruang tamu indekos. Siapa yang menyangka, bahwa hadiah pernikahannya diantar dengan satu truk box yang dilarang masuk oleh satpam penjaga cluster.

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanWhere stories live. Discover now