36

4.1K 487 31
                                    


"Mas Ammar mau kopi juga?" tanya Putri ketika Ammar keluar dari kamar mandi dengan handuk menutupi kepala. Dengan santai, dia menggosok rambut basahnya. Kegiatan yang selalu membuat rambut keriting Putri iri.

"Boleh," jawab sang lelaki sekenanya, sambil berjalan ke arah belakang, meletakkan pakaian olahraganya yang basah oleh keringat langsung ke mesin cuci.

"Es atau panas?" Putri berseru, bulatan rambutnya muncul di ambang pintu dapur.

Ammar tersenyum lepas melihat gelungan yang memantul di atas kepala.

"Es?"

"Oke!" setelah berkata seperti itu, Putri kembali sibuk di dapur. Pagi ini Putri tidak memasak. Mereka memutuskan membeli bubur di depan kompleks setelah dari lapangan. Jika akhir pekan Ammar mengambil waktu untuk tidak melakukan pekerjaan rutin, maka akan adil jika Putri juga melepas rutinitas.

Ponsel Ammar di meja kerja berdenting. Lelaki itu hanya menghampiri untuk mematikan notifikasi lalu meletakkannya kembali. Pikirannya sudah penat dari hari Kamis kemarin, dia ingin mengambil jeda sejenak sebelum dorongan untuk meraih pekerjaan timbul lagi.

Putri masih berkutat dengan teko leher angsa, menuangkan air panas secara perlahan di atas saringan kertas. Tetesan kopi bergerak dengan ritme konstan, melelehkan es batu yang terbuai di bawahnya. Dan Ammar pun terbuai, dalam ritme tenang yang dibawa Putri ke dalam rumahnya. Ada hangat yang tercipta tiap kali Putri dekat dengannya.

Apakah perasaannya, yang berusaha dibekukan, akan kembali mencair?

Ammar mengambil napas, tidak ingin hanyut dalam perasaannya sendiri. Tidak ingin membuat Putri tenggelam dalam luapan emosi.

"Nanti ada mahasiswa yang bimbingan lagi?" Putri keluar dari dapur dengan cawan kopinya. Bagian bawah cawan kaca itu mulai berembun. Dingin membekukan dari es batu mengalahkan ekstrak kopi panas yang tadi melelehkan sebagian darinya.

"Nggak. Aku belum sempat koreksi pekerjaan yang mereka kirim." Ammar duduk di kursi makan, menunggu Putri dengan segala instrumen kopinya.

"Berarti, Putri nggak perlu belanja, 'kan?"

"Nggak."

"Oke." Cairan cokelat berpindah tempat, dari cawan ke gelas kecil. "Mas Ammar mau pakai gula?"

"Nggak."

Putri menuang untuk dirinya sendiri, lalu duduk di depan Ammar, tempat biasa dia duduk. Bibirnya berdecap, menikmati pahit dan asam, tidak mencari pemanis tambahan. Wajah kecil itu puas, matanya cemerlang.

Ammar menyeruput minumannya, merasakan sensasi yang sama. Namun, menanggapi dengan cara berbeda.

"Beneran? Nggak mau pakai gula?"

"Nggak."

"Mas Ammar mau dimasakin sesuatu buat makan siang?"

"Nggak."

Putri memandang Ammar menyelidik. Alisnya berkerut, bibirnya mengerucut.

"Apa makanan kesukaan Mas Ammar?"

Lelaki itu hendak membuka mulut, tetapi tertahan.

"Mas Ammar udah empat kali bilang, 'nggak'." Putri menyesap kopinya. Dalam balutan getir, pahit, dan asam wanita itu tetap tertawa. "Awas kalau bilang 'nggak' lagi."

Ammar memaksakan senyum.

"Lalapan."

Alis Putri makin berkerut.

"Jadi apa aja, asal ada lalapan?"

Ammar mengangguk.

"Tukang sayur banget." Putri menyesap minumannya setelah mencibir.

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanWhere stories live. Discover now