29

8.2K 1.3K 90
                                    

"Kalian mau pulang jam berapa?"

"Ibu nggak suka Putri lama-lama?"

Ammar menatap Putri yang sedang sibuk memotong sayuran di dapur. Lelaki itu tahu istrinya berusaha membuat kalimat itu terdengar bercanda, tapi dari cara Putri menghindari ibunya, Ammar tahu jika Putri sedih.

"Bukan begitu," Khadijah hanya menggeleng singkat, "Putri kadang terlalu dramatis Mas Ammar. Sabar, ya." Wanita sepuh itu tersenyum pada menantunya.

"Nggak apa-apa, Bu. Rumah jadi ramai," Ammar berusaha menenangkan. Ammar hanya berharap, sikap diamnya di rumah tidak menghilangkan keceriaan yang selalu coba Putri tampilkan.

"Kasihan Mas Ammar kalau kalian pulang kemalaman, besok Mas Ammar masih harus ngajar juga," Khadijah melanjutkan bicara pada Putri.

"Kami pulang setelah salat Isya' saja," Ammar berinisiatif menjawab, sebelum Putri melempar tatapan memohon. "Daripada nanti kena macet dan nggak sempat maghrib."

"Benar nggak apa-apa? Nggak ada pekerjaan?" Khadijah tampak tidak percaya dengan ucapan menantunya, mungkin karena dari tadi Ammar bolak-balik membuka ponsel hanya untuk memeriksa notifikasi.

"Bisa diselesaikan nanti," Ammar kembali meraih ponsel lalu mematikannya. Hampir jam lima sore, seharusnya tidak ada yang akan mencarinya untuk urusan pekerjaan.

Kali ini, Ammar hanya ingin fokus menemani Khadijah. Sementara Putri sibuk menyiapkan makan malam.

Setelah salat maghrib, Ammar bisa membuka kembali ponselnya sambil duduk di ruang tengah karena Khadijah mulai istirahat di kamar. Deretan pesan dan email yang terkirim dalam beberapa jam terakhir, semua menunggu ditanggapi.

"Mas Ammar mau kopi?" Putri kembali dari kamar ibunya dengan sebuah buku di tangan.

"Boleh."

"Mau apa?"

"Apa pun," Ammar menjawab asal, karena dia tidak terlalu memikirkan kopi yang akan diminumnya. Dia terbiasa dengan kopi instan, tapi Ammar tahu, bukan itu yang sedang Putri tawarkan. "Asal bukan espresso."

"Dan manis, iya 'kan?" Putri menggoda, Ammar mengangguk sebagai jawaban.

Putri bergerak ke deretan peralatan kopi, membuka toples kaca dengan tutup kedap udara berisi biji kopi. Wanita itu mengendus, lalu mengamati isinya lagi.

"Mbok!" Putri setengah berteriak, memanggil pengurus rumah yang segera menghampiri sang majikan.

"'Gimana, Mbak?"

"Ini datang kapan?" Putri menggoyangkan toples, aroma kopi perlahan mengisi ruangan.

"Kemarin siang, Mbak. Sudah dipanggang sekalian waktu sampai rumah."

"Sudah ada yang cicip?"

Ammar hanya menoleh sebentar pada percakapan di sampingnya, lalu kembali pada revisi skripsi yang telah dia sisihkan dari tadi sore.

"Belum, Mbak."

"Oke. Tolong panasin air, ya Mbok." Putri menyerahnya teko leher angsa pada Mbok Nah yang langsung membawanya ke dapur.

Denting biji kopi yang dituang ke dalam gilingan disusul dengan suara motor yang sedang menghaluskan. Hanya beberapa detik, ketika motor berhenti dan Putri membuka tutup grinder, wangi kopi yang lebih kuat menghampiri hidung Ammar.

"Baunya enak, 'kan Mas Ammar?" Mau tak mau Ammar menoleh, menyaksikan Putri yang sedang menghirup kuat. Wajahnya sedikit lebih cerah daripada saat dia tadi datang dari kamar Ibu.

"Iya," hanya itu jawaban Ammar, pikirannya bercabang antara revisi mahasiswanya dan wajah Putri yang menggemaskan.

Putri kembali sibuk menyiapkan beberapa hal yang Ammar tak mengerti. Nada tunggu panggilan terdengar, Putri menelepon seseorang dan menggunakan loud speaker agar bisa meneruskan proses membuat kopinya.

"Mbak Prames yang ngirim kopi ke rumah?"

"Kamu di rumah?" Seseorang di ujung sambungan balik bertanya.

"Iya, ini kopi dari mana?"

"Garut, wine processed, medium roast," jelas Prames padat. "Sudah kamu coba?"

"Baru selesai giling. Baunya sih enak." Putri menggoyangkan bubuk kopi yang digiling kasar, aroma khas kopi yang berpadu dengan manis dan asam dia hirup dalam-dalam. Kertas penyaring telah diletakkan di atas corong, teko penampung siap di bawahnya.

"Sample dari Flores, Toraja, dan Aceh baru siap bulan depan."

"Cuma fokus ke specialty lokal aja?" Putri menerima teko leher angsa dari Mbok Nah yang kini berisi air mendidih.

"Kami tinggal nunggu proposal bisnis yang kamu bikin, kalau kamu bisa masukin kopi import, ya kita lihat nanti."

Putri mendesah berat, Ammar menoleh pada istrinya yang tiba-tiba kehilangan semangat.

"Gimana progresnya?" Prames masih melanjutkan.

"Nggak ada progres," Putri cemberut ketika menuang air panas ke filter. Tetesan air yang turun kemudian dia buang ke gelas lain. Putri meletakkan rangkaian corong dan teko penampung di atas timbangan digital, memasukkan bubuk kopi sambil terus mengamati angka di timbangan.

"Kamu bisa minta bantuan suamimu, 'kan?"

Putri buru-buru meletakkan semua benda di tangannya lalu menyambar ponsel.

"Dia dosen agribisnis, bisalah...." Loud speaker dimatikan, Putri meletakkan ponsel di samping telinga.

"Nanti Putri kerjakan sendiri saja."

Sekarang Ammar tidak bisa mendengar percakapan, hanya potongan-potongan jawaban Putri yang tidak bisa ditebak apa yang dikatakan lawan bicara.

"Tiba-tiba kehilangan semangat?" tanya Ammar setelah menerima mug kopinya.

"Ditagih pekerjaan yang sebenarnya ingin Putri lupakan." Wanita itu cemberut ketika duduk di samping Ammar. "Nggak ingin bahas dulu, Putri mau mikir yang lain."

Putri menyeruput kopi, mengecap beberapa saat, lalu memandang cangkirnya.

"Enak!" Mata Putri membelalak, Ammar tersenyum melihat kelakuan istrinya. Kafein sepertinya langsung bekerja pada sruputan pertama bagi Putri. "Iya, 'kan?"

Ammar kembali menyeruput cairan gelap yang tidak terlalu pekat di tangannya. Tidak terlalu banyak gula yang dituangkan Putri, tapi rasanya pahit tidak terlalu pekat juga. Ada banyak sensasi di mulutnya yang tidak biasa Ammar cicipi dari sebungkus kopi instan.

"Rasanya beda dari kopi instan." Putri tergelak oleh jawaban Ammar yang apa adanya. "Nggak sepahit kopi tubruk juga."

"Sesuai selera?" tanya Putri lagi. Pertanyaan yang sebaiknya Ammar jawab dengan hati-hati.

Ammar tidak ingin menyinggung Putri jika menjawab bahwa kopi yang dibuat dengan hati-hati itu tidak sesuai seleranya. Namun, dia juga tidak ingin Putri melewati kerepotan menyeduh kopi presisi itu jika Ammar menyukainya. Sangat menyukainya.

"Rasanya iya, prosesnya?" Ammar menoleh pada perlengkapan seduh kopi yang masih tergeletak di tempatnya. "Terlalu repot."

"Jadi untuk Mas Ammar, kopi instan masih di posisi pertama?"

"Iya, aku bisa bikin sendiri pakai air dispenser. Simple."

Ponsel di tangan Ammar bergetar, fokusnya kembali pada pekerjaan di depannya. Putri mengamati lelaki itu sejenak. Hampir dua minggu hidup bersama Ammar, lelaki itu simple. Selalu makan masakan Putri yang kurang garam tanpa keluhan, melakukan pekerjaan rumah yang bisa dilakukan di sela kesibukan. Putri tidak tahu, apakah karena Ammar sudah terbiasa seperti itu sehingga tidak ingin merepotkan orang lain. Atau karena lelaki itu tidak ingin melibatkan Putri dalam kehidupannya Ammar.

"Terima kasih," ujar Putri pelan, Ammar menoleh bingung, gerakan jarinya mengetik sesuatu di ponsel berhenti.

Hari ini menyenangkan, semua berkat Ammar yang mau mengorbankan waktu. Pekerjaan Ammar menunggu, seharusnya, dari awal Putri tidak mengganggu.

Karena sekarang, Putri mulai ketagihan kebaikan pria itu.

___

Perjanjian Pernikahan: Meretakkan MerekatkanWhere stories live. Discover now