BAB 4 - Tuntutan Serius

Mulai dari awal
                                    

Al mendesis. Ia muncul di belakangku dan bisa kulihat dari pantulan wajahnya di kaca spion kalau ia sedang senang dengan dahiku yang mendapat coretan hitam. Benar saja, kulirik ia sedang berusaha menyembunyikan tawa kecilnya di sekilas senyum yang menampakkan deretan giginya. Al, aku malu!

“Mandi dulu, Mel,” sarannya.

***

Aca belum datang juga. Aku chat Aca untuk membelikan tinta spidol, namun masih belum ada balasan. Sudah pukul 14.30, Aca masih belum memperlihatkan wajahnya. Aku pun memutuskan untuk meminta bantuan Al.

“Hai, Mel.”

“Al.”

“Iya, kenapa, Mel?” tanya Al via suara di telepon.

“Kamu udah di kampus?” Aku mondar-mandir. “Kamu masih ada kuliah?”

Suara Al menghilang sejenak.

“Al?”

“Baru selesai satu mata kuliah, Mel. Ada apa?”

“Aku minta bantuan kamu buat beli tinta spidol, ya. Bentar lagi gurunya dateng. Aca nggak bales chat-ku dan belum sampe di tempat bimbel juga. Pinjem uang kamu dulu, ya. Nanti aku ganti di sini. Bisa, Al?” jelasku panjang lebar.

“Iya.”

Beberapa menit kemudian, Al benaran datang membawa apa yang tadi kupesan. Al kelihatan tergopoh masuk menemuiku. Fokusnya terus saja teralihkan ke ponsel yang berada di genggamannya. Sekali ia tersenyum, meletakkan ponselnya di atas meja, mengajakku mengobrol sebentar, lalu kembali ke benda pipih itu yang menjadi pusat perhatiannya.

Aku yakin Al pasti sibuk sekali di kampus dan aku paham akan hal itu. Setelah kuganti uangnya, Al langsung pamit ke kampus lagi dan aku mengingatkannya untuk hati-hati di jalan. Kepergian Al ternyata menyisakan ponselnya di meja administrasi.

Seseorang menelepon Al, lantas kuterima panggilan itu karena penasaran. “Halo?”

“Halo, Al. Lo di mana? Udah ditunggu sama dosen buat bawain fotokopi bukunya.”

Bibirku gemetaran. Suara gadis itu menyentuh telinga hingga meluncur ke dalam hatiku. Aku pun mulai berpikiran yang bukan-bukan. “Ini siapa?”

“Lo siapa? Al mana?” tanyanya.

“Gue pacarnya,” jawabku dengan yakin. “Lo temen satu kampusnya Al?”

“Pacar?” Gadis itu tak percaya. “Kenapa Al nggak pernah cerita ke gue? Gue ini temen sekelasnya Al. Dan gue yang pacarnya Al. Lo nggak usah ngaku-ngaku!” ketusnya.

“Gue yang pacarnya Al!” kataku tegas.

“Terserah lo!”

Hatiku seakan-akan patah. Hancur menjadi keping-keping dan bahkan remah-remahnya serasa sudah berserakan di mana-mana. Yang jelas, perasaanku terganggu oleh ucapan gadis itu yang mengaku pacar Al.

Al, apa aku ini beneran satu-satunya di hati kamu?

***

“Mel, sori, ya, gue telat. Gue lupa setel alarm di hape,” ucap Aca saat baru tiba di tempat bimbel.

Aku diam.

Aca menyentuh pundakku. “Lo dapet chat gue?”

“Iya, tadi mau nitip beli tinta spidol,” ujarku.

“Ya udah, kalo gitu gue izin keluar sebentar, ya.”

Kucegah tangannya untuk tidak melenggang pergi. “Gue udah nitip ke Al.”

“Oh,” Aca berbalik, “nggak kuliah dia?”

Baru saja mau kujawab pertanyaan Aca, deru motor Al tiba dan mengisi ruang yang kosong di tempat parkir. Ia buru-buru masuk dan menanyakan ponselnya. “Hai, Mel. Hai, Ca. Saya mau ambil hape.”

“Gue izin ke toilet sebentar, ya,” ucap Aca, lalu berlalu.

Sengaja kusembunyikan dulu ponsel Al untuk bertanya, “Tadi ada yang telepon, cewek, dia siapa?”

“Siapa?”

“Dia bilang kalo dosen nungguin fotokopi buku. Dia bilang juga kalo dia itu pacar kamu.”

“Mel, saya perlu hapenya sekarang. Saya mau ke kampus buat lanjut kuliah.”

Al berusaha menggamit tanganku yang memegangi ponselnya, namun lebih cepat tanganku untuk berkelit. Aku cuma mau masalah ini cepat selesai, sehingga tak ada beban lagi yang menghantui pikiran. Bila Al tidak memiliki pacar selain aku, ia pasti akan segera bilang dan jujur mengungkapkannya.

“Al, aku minta kamu jelasin sekarang!”

“Ada namanya, nggak?”

Seingatku tidak ada nama yang tertera saat gadis itu menelepon. Hanya nomor dan suara yang menegaskan kalau memang dirinya adalah pacar Al. Aku kagok di tempat dan menggeleng. Al pasti sangat menginginkan ponselnya cepat kembali.

“Mel, itu pasti nomer baru yang nggak saya kenal dan ngaku-ngaku jadi pacar saya.” Al menanggapi dengan tenang.

“Tadi dia bilang kalo kamu itu temen sekelasnya.”

“Siapa?” tanya Al seperti kepada dirinya sendiri dengan raut wajah bingung.

Kuberikan segera ponsel Al karena takut masalah ini menjadi panjang dan akan semakin kacau kalau Aca sampai mendengar dan melihat kami sedang berdebat. Begitu mendapat ponselnya kembali, benda itu masuk ke dalam saku celananya. Al langsung pamit menuju motornya.

Di luar, kulihat Al berpapasan dengan Aca yang baru saja selesai dari toilet. Aca memperhatikan dengan saksama sikap Al yang mungkin menurutnya aneh dan membingungkan. Sampai motor dan penunggangnya itu pergi, Aca masih berdiam diri mendengarkan suara motor Al yang perlahan-lahan menghilang.

Aca menghampiriku. “Ada apa?”

“Enggak ada apa-apa. Al lagi buru-buru, tadi hapenya ketinggalan,” jawabku.

“Tapi, kenapa gue curiga, ya?”

“Hah?” Aku melongo. “Maksud lo?”

Tangan Aca menarik kursi untuk duduk lebih dekat denganku. “Gue ngerasa kalo lo itu punya hubungan yang lebih dari temen sama Al. Beneran nggak, sih?”

“Kata siapa?”

“Lo itu kebiasaan, ya, Mel. Tiap gue tanya soal Al, lo malah berusaha menghindar. Ayo ceritain!” tuntut Aca dengan serius.

“Caaa,” sahutku memohon.

“Gue penasaran, Mel.”

“Tapi Ca, gue …”

“Gue sahabat lo, kan?” tanyanya.

“Iya.”

Aku berharap ada pertolongan yang datang dengan cara tak sengaja seperti kemarin yang membawa calon siswa baru ke tempat bimbel. Hujan, petir, badai, atau apa pun yang mungkin dapat mengalihkan perhatian Aca untuk tidak berniat membahas hal itu lagi. Aku masih belum siap mau bilang kalau aku dan Al memang berpacaran.

Sesungguhnya aku ragu kepada gadis tadi yang mengaku pacar Al. Di sisi lain, aku juga masih belum yakin dengan penjelasan Al. Cowok sekeren dan sebaik Al pasti banyak disukai gadis-gadis di kampusnya. Kini, aku menjadi minder sendiri.

Aca menyergah. “Mel, gue maksa. Lo harus jawab jujur sekarang!”

Hai, Mel!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang