9. Dilema

57 46 4
                                    

"Ini buku Biologi yang adek mau." Ucap Kak Bintang seraya menyodorkanku Buku Biologi.

"Kok nggak ajak Rara belinya ?" Tanyaku dengan wajah cemberut.
Aku kesal karna bukan buku ini yang aku mau. Ini lebih mirip dengan modul.

"Tadi Kakak lewat toko buku, jadi sekalian mampir." Jawab kak Bintang.

Oke lah Ra, tak apa. Dari pada nggak ada buku lagi kan ? Ini sudah cukup untuk belajar. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri dan mengikis rasa kesal ini.

"Oiya, minggu ini, si Buncit mau kesini?" Tanya kak Bintang. Aku menjawabnya dengan anggukan mantap. Aku juga sudah tak sabar menunggu hari itu.

****

Hari minggu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Tepat saat ini Arka duduk di depanku, di ruang tamu rumahku.

"Jalanan macet kak ?" Tanyaku.

"Nggak kok, lumayan lancar." Jawabnya.

"Oiya, kakak ada sesuatu." Arka membuka tas ranselnya. Dan beberapa paket buku dia keluarkan.

"Ini buat adek" Arka menyodorkanku beberapa buku Biologi, Kimia, Fisika, Bahasa Inggis dan Bahasa Indonesia keluaran penerbit ternama. Ini buku biologi yang aku cari. Nggak tanggung-tanggung 3 buku biologi sekaligus.

"Wah ini buku yang Rara pengen. Makasih kak." Seru ku. Sungguh aku nggak bisa mengontrol diri, betapa senangnya aku saat ini. Begitupun Arka, terlihat dia juga senang melihat ekspresiku sekarang.

"Dari mana kakak dapetin semua buku ini?"

"Tanya-tanya ke kakak kelas dulu sih. Dan Alhamdulillah malah banyak yang ngasih hehehe." Jelasnya.
"Assalamualaikum" Seru kak Bintang

"Waalaikumsalam" jawabku.

"Wah, tamunya udah datang." Sambungnya. Aku hanya tersenyum, sedangkan ekspresi Arka berubah seketika. Jauh dari beberapa detik yang lalu.

"Kenalin aku bintang, bisa dibilang kakaknya Rara." Ujar Kak Bintang seraya menjulurkan tangan, siap berjabatan dengan Arka.

Arka tak bergeming dan bahkan dia tak melihat Kak Bintang. Menunduk sambil sibuk memainkan jemarinya.
Apa yang kamu lakukan Arka, aku harap kamu berbaik dengan kakak angkatku ini. Aku ingin sekali menegurnya. Tapi dia juga tak memandangku saat ini.

"Ah, kak bintang mau minum apa ? Sekalian mau Rara buatin nih." Tanyaku mengalikan topik.
Kak Bintang menarik tangannya yang berjabatan dengan udara.

"Ah, nggak usah. Kakak kesini mau ketemu bapak. Bapak dimana ?"

"Ada dibelakang kak."

"oke deh, aku pamit ya." Jawabnya seraya berlalu.

Aku duduk lagi di posisiku semula. Meletakkan buku Biologi yang sedari tadi aku peluk.

"Kak!" Seruku memanggil Arka yang sedari tadi menunduk memainkan jemarinya.

"Ah, iya." Jawabnya tanpa ekspresi. Aku sungguh benci raut wajahnya saat ini.

"itu tadi kak Bintang yang sering Rara ceritain." Ujarku.

"iya tau." Jawabnya singkat.

"terus kenapa diam aja, bahkan tangannya diabaiin gitu aja." Sergaku.

"kakak nggak suka sama dia dan kakak nggak suka adek deket-deket sama dia. Jujur kakak nggak suka saat adek cerita tentang dia." Jujur Arka.

Pernyataan yang membuatku bertanya, apakah Arka cemburu ? Tapi bagaimana mungkin aku menjauhinya? Kak Bintang udah seperti kakak sendiri bagiku dan bahkan keluarga kami juga mengenalnya.

"Dengerin Rara, Kalian buat Rara sama aja, dan bahkan Rara lebih sayang sama Kak Buncit. Kita berteman jauh lebih singkat dibandingkan Rara dengan kak Bintang, tapi kakak lebih istimewa buat Rara. Jadi apa yang perlu dipermasalahin?" Jelasku.

"Kalo emang kakak lebih istimewa buat adek, jauhin dia." Jawab Arka.

Rasanya ingin aku meneriaki Arka, sebenarnya dalam naungan apa hubungan kita ? Cuma sekedar kakak-adik kan ? Bahkan satu kalipun Arka tidak pernah mengutarakan perasaannya, meski sudah enam bulan lamanya kita dekat dan saling memendam rasa. Tunggu. Kita ?. Aku lupa, aku rasa hanya aku yang terlalu jauh mencintainya, sedangkan dia tidak.

"Tu kan, adek nggak akan bisa jauhin dia. Karna emang dia yang lebih penting." Celetuk Arka.

"Bisa, Rara Bisa." Jawabku tegas. Perkataannya barusan membuatku merasa Arka sedang meremehkan perasaanku padanya. Arka kamu tau nggak sih, aku cinta sama kamu. Aku sayang kamu.

****


Tepat selepas ashar, Arka berpamitan untuk pulang. Seperti biasa aku menggantarnya.

"Ah, Rara melupakan sesuatu!" Seruku.

"Tunggu sebentar ya!" Sambungku sambil berlari ke dalam rumah.

Aku mengambil box kado dan segera bergegas kembali. Aku memberikan box itu pada Arka.

"Ini kado untuk kakak, saat itu Rara sibuk membuatnya dan sengaja cuekin kakak hehehe." Terangku.

"Lucu sekali. Makasih ya dek. Pasti sulit membuatnya."

"Sama-sama kak."

"Kakak pulang dulu yaa. Akan kakak jaga kadonya."

"Hati-hati di jalan kak, jangan ngebut." Ucapku seraya melambaikan tangan.

Sekarang Arka benar-benar telah hilang dipersimpangan.

"Sepertinya dia tidak menyukaiku." Ucap Kak Bintang yang tiba-tiba muncul di belakangku.

Aku hanya terdiam. Memang seperti itu adanya. Arka tidak menyukai kedekatanku dengan Kak Bintang.

"Apa yang dia katakan tentangku?" Tanya Kak Bintang.
Aku menghela napas panjang, sebelum menjawabnya.

"Dia tidak menyukai kedekatan kita." Jawabku menunduk.

"Lalu kamu menuruti maunya ?" Desaknya.

Lagi-lagi terdiam. Situasi ini tak pernah aku pikirkan bahkan aku tak pernah membayangkan sebelumnya.

"Kamu beneran cinta sama dia kan ?"

"Aku nggak mau bahas apapun untuk saat ini. Maaf kak, Rara lagi ingin sendiri." Aku bergegas masuk ke kamar dan menguncinya.

Saat ini aku benar-benar ingin sendiri. Situasi macam apa? Dua orang yang berharga dalam hidupku tidak bisa menerima satu sama lain. Aku pikir mereka akan akur, akrab dan aku akan jadi gadis kecil yang bahagia karnanya. Apa keinginan sederhana itu terlalu serakah ?


Kak Bintang bagiku seperti kakak angkatku. Terlalu banyak hutang budi yang dia berikan dan bagaimana bisa aku begitu saja menjauhinya. Bahkan keluarga kami sangat dekat dengannya. Sedangkan Arka, bagaimana aku bisa meninggalkannya sedangkan aku begitu mencintainya. Untuk menolak inginnyapun sungguh aku tak bisa.

****

EncounterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang