PART 2 - Unfaded Memoir

147 36 61
                                    


"Jangan... Jangan pergi! Jangan pergi seperti ini!! TIDAKK!!"

Dio terbangun dengan kaget. Seluruh tubuhnya berkeringat dingin. Dadanya kembang kempis, napasnya memburu. Dia bangkit dari tidurnya--tertegun, lalu menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Berusaha menenangkan diri. Sudah delapan belas tahun berlalu, namun mimpi buruk tentang kecelakaan pesawat itu masih saja setia menghantui, dan sepertinya tidak akan pernah berakhir.

"Kau bermimpi buruk lagi?" tanya Matheo yang baru saja tiba untuk mengantarkan jas yang akan dikenakan Dio hari ini. Setiap hari, tugas pertama yang mesti dilakukan asistennya adalah mengambil pakaian-setelan jas-dari tempat laundri langganan, kemudian mengantarkannya sendiri ke unit apartemen bosnya.

Hanya pakaian-pakaian formal saja yang biasa dicuci laundry, sisanya, Dio sudah membayar orang lain untuk bekerja selama setengah hari melakukan segala hal yang menyangkut tentang kebersihan unit apartemennya. Pokoknya, setiap sehabis pulang kerja, unitnya sudah selalu dalam keadaan rapih dan bersih.

Design kamar Dio cukup unik karena tidak memiliki pintu, sehingga orang bisa dengan leluasa berjalan keluar-masuk. Ukuran ruang kamarnya juga cukup luas jika dibandingkan dengan ruangan-ruangan lain yang ada di dalam apartemen Dio. Bisa dibilang, ruang kamarnya adalah pusat dari segala ruangan yang ada di unit itu.

Dio sama sekali tidak menggubris pertanyaan asisten pribadinya. Pandangannya hanya tertuju pada foto seorang gadis kecil yang sedang tersenyum lebar. Kedua tangan gadis kecil itu terlihat merangkul tengkuk sambil mencubit gemas kedua pipi bakpao bocah laki-laki gendut, berkacamata tebal, serta berkepala botak yang berdiri di sisinya sambil memasang ekspresi pasrah. Hatinya selalu teriris setiap kali menatap selembar foto lawas itu.

Mendadak, dirinya merasa tidak berdaya.

Kebanyakan, psikiater yang ditemuinya akan mengatakan time will heal, tapi ternyata itu hanya omong kosong. Mereka semua adalah pembohong besar.

Time will not heal me, it's killing me day by day.

Dio sangat membenci waktu yang dengan begitu kejam terus berlalu tanpa mempedulikan perasaannya. Seandainya saja bisa, Dio hanya ingin waktu dapat berhenti di detik itu. Detik di mana sebelum kehidupannya mengalami jungkir balik secara ekstrim dan membuat rasa penyesalan menjadi satu-satunya teman hidupnya.

Foto lawas bewarna hitam putih seukuran postcard itu selalu saja ditatap Dio setiap kali bangun ataupun beranjak tidur. Hal tersebut seakan sudah menjadi seperti suatu ritual yang tidak dapat dihilangkan begitu saja dari kehidupannya. Asistennya bahkan terkadang kerap memergoki Dio berbicara sendiri dengan foto itu, seolah-olah benda mati itu berubah menjadi benda hidup saat disentuh oleh tangan bosnya.

Awalnya, Matheo menganggap bosnya itu pasti sudah gila, namun setelah mengetahui kisah yang tersembunyi di balik itu, perasaanya malah jadi ikut merana. Jika saja ada yang dapat dia lakukan untuk membantu menenangkan perasaan bosnya, dia pasti sudah melakukannya dari dulu. Tapi pasti akan sangat sulit, karena bosnya itu bukanlah tipe pengemis perhatian. Dia paling benci dikasihani.

Atmosfir ruangan yang seketika berubah suram, membuat Matheo memilih untuk meletakkan jas itu di atas ranjang bosnya dan segera berjalan menjauh dari sana.

"Akan kuambilkan kau minum," pamit Matheo sebelum meninggalkan ruangan. Memberi ruang untuk bosnya menenangkan pikiran. Perasaannya pasti sedang kalut lagi saat ini. Selalu seperti itu.

THAT CRAZY CLUMSY MESSY GIRLWhere stories live. Discover now