[prolog] - Song of the Wind

307 40 91
                                    

"Astagaaaa! Kenapa sih kau ini selalu saja terjatuh?!" keluh Aiden seraya menghentikan langkahnya, lalu berbalik untuk membantu sahabat sepermainannya itu bangkit berdiri.

"Isshh, kau sendiri? Kenapa kau terus saja jadi target pembulian, huh?! Kalau bukan karena menyelamatkanmu dari tukang-tukang buli itu, kita tidak perlu kabur dengan berlarian secepat ini," timpal Aileen yang merasa tidak terima dirinya dipojokkan. Kepala Aiden tertunduk setelah Aileen mengutarakan kekesalannya secara blak-blakkan.

"Apa mungkin karena..., aku gendut?"

Nada bicara Aiden memelan, terdengar sangat tidak percaya diri. Pandangannya tertuju pada dirinya sendiri yang memang bertubuh gempal, berkacamata tebal, dan berkepala plontos. Bocah laki-laki yang baru saja duduk di bangku kelas 5 SD itu kembali merasa rendah diri kala teringat ejekan teman-teman sekelasnya yang selalu menyebutnya Giant Doraemon, Boboho, Sinterklas, gajah, ikan paus, babi, dan masih banyak lagi sebutan-sebutan menyakitkan lainnya.

Terbesit sebuah rasa sesal di dada Aileen karena dirinya sudah marah-marah tadi, sebelum kemudian rasa sesalnya itu berubah jadi perasaan kesal saat melihat Aiden kembali menjadi seseorang yang tidak percaya diri. Padahal, Aileen mungkin sudah sampai ribuan kali menasehati sahabatnya itu bahwa tidak ada salahnya memiliki berat tubuh ekstra, toh bukan mereka juga yang memberi makan. Tapi sepertinya, mau tunggu sampai cerita anime One Piece tamatpun, nasehatnya itu hanya akan selalu berakhir menjadi sebuah isapan jempol bagi seorang Aiden.

"Iya! Kau gendut, dan juga, bodoh! Harus berapa kali aku menyelamatkanmu dari anak-anak nakal itu, huh?" Aileen terlanjur jengkel, jadi sekalian saja dia mengiakan pendapat Aiden soal alasan kenapa anak-anak yang berada satu tingkat di atasnya itu terus membulinya.

Kepala Aiden makin tertunduk. Bibirnya tertekuk ke bawah, hampir menangis. Nafas Aiden bahkan sudah mulai tersengal, hampir terisak tapi dia menahannya. Dia takut Aileen makin mengomelinya kalau sampai dia menangis saat itu juga.

Melihat hal itu, Aileen justru makin jengkel. Bukan terhadap Aiden, tapi terhadap para tukang buli yang notabene adalah kakak-kakak kelas mereka yang seharusnya bisa jauh lebih dewasa dalam bersikap. Mereka sebentar lagi lulus SD, tapi sikapnya masih sama seperti anak kelas satu SD yang usil suka mengganggu dan berkelahi sana-sini. Cukup sudah, Aileen tidak dapat menahan diri lagi. Dia harus membalik keadaan.

"Ugh! Aku tidak bisa tinggal diam lagi, mereka terus saja mengejekmu. Lain kali, harus kuberi mereka pelajaran. Biar mereka tahu rasa! Lihat saja nanti!" tekad Aileen membulat. Kedua matanya berapi-api. Dia bahkan sudah memikirkan berbagai cara untuk membuat para kakak kelasnya itu kapok.

Tangisan tertahan Aiden terhenti. Kepalanya memanguk ke arah Aileen secara perlahan, lalu menatapnya dengan tatapan yang seakan meragukan kata-kata Aileen barusan.

"Apa kau seyakin itu? Bukankah selama ini yang kita lakukan hanya melarikan diri? Bahkan aku belum pernah sekalipun melihatmu melawan mereka dengan gagah berani. Terakhir kali, kau malah menangis dan meminta mereka untuk mengampunimu setelah kau sok keren menantang salah satu dari mereka berduel."

Kedua tangan Aileen yang tadinya diletakkan di pinggang, langsung melorot seolah kehilangan tenaganya. Dirinya merasa bak ditampar oleh semua kebenaran itu. Aileen meringis sebal sembari menatap ke arah Aiden dengan pandangan yang seakan-akan ingin mengunyah tubuh gempal Aiden bulat-bulat saat itu juga.

"Itu karena salah satu dari mereka membawa KATAK!" sembur Aileen, dengan nada membentak, yang membuat Aiden langsung terlonjak saking kagetnya. "Kau kan tahu sendiri aku paling benci hewan yang satu itu. Hanya dengan melihatnya melompat saja, bisa menimbulkan reaksi kemerahan di sekujur tubuhku. Aku berani dengan hewan-hewan lainnya, tapi tidak dengan yang satu itu. Jadi lebih baik aku mengalah daripada mereka tahu titik kelemahanku, bukan?" kelit Aileen membela diri.

Aiden memiringkan kepalanya sedikit, lalu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak terasa gatal, sembari mengingat-ingat kejadian saat itu.

"Seingatku, itu hanyalah katak mainan, bukan sungguhan. Tapi lucunya, kau sampai ketakutan setengah mati."

Tawa Aiden menyembur beberapa detik setelahnya karena saat itu kejadiannya benar-benar lucu. Aileen bahkan langsung memasang tampang seimut mungkin agar kakak-kakak kelas itu mau meloloskan mereka kali ini. Padahal, awalnya dia terlihat sok berani saat menantang. Aiden membayangkan kembali tampang imut yang terkesan terlalu dibuat-buat oleh Aileen, yang otomatis membuat suara tawanya makin mengeras.

Seringaian tajam bak seorang pembunuh berdarah dingin dari Aileen seketika sanggup melunturkan gelak tawa dari wajah Aiden. Bocah laki-laki itu kini membungkam mulutnya rapat-rapat. Dia bahkan mengambil langkah mundur seiringan dengan Aileen yang melangkah maju mendekatinya sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Kalau begitu, kenapa kau tidak berani melawan mereka sendiri, huh?! Kenapa kau selalu membuatku ingin terus melindungimu?! Di mana-mana, anak laki-lakilah yang seharusnya melindungi perempuan! Kau mengerti hal itu tidak?!!" ujar Aileen geram seraya memarahi Aiden. Nada suaranya naik beberapa oktaf di kalimat terakhirnya.

Omelan Aileen yang meraung tepat di depan wajah Aiden membuat bocah penakut sekaligus pemalu itu menutup kedua telinganya sembari meringkuk di atas tanah berumput dengan posisi berjongkok. Ia merasa kesal dengan dirinya sendiri yang menurutnya sama sekali tidak berguna.

Aileen menghela napas setelah puas meluapkan kekesalannya. Dia lalu menepuk-nepuk pakaiannya untuk mengebaskan sisa kotoran tanah dan rumput yang masih menempel di bajunya akibat terjatuh tadi.

Sementara itu, Aiden memberanikan diri untuk memperhatikan wajah sahabatnya dengan seksama. Rambut hitam panjang Aileen yang terurai berkibar lembut dihempas angin. Kedua tangannya kemudian terulur untuk menyisir rambutnya yang berantakan dengan menggunakan jemarinya. Angin sore masih saja menggoda gadis kecil itu dengan menghembusinya secara perlahan, membuat gadis itu kini menoleh ke arah di mana angin itu datang bertiup.

Gemerisik dedaunan yang digoyangkan angin seolah membuat sebuah alunan musik dan memberikan sensasi damai selama beberapa saat.

Wajahnya yang semula terlihat kesal karena hembusan angin itu membuat rambut panjangnya berantakan, kini terlihat sangat menikmati suasananya. Bahkan gadis kecil itu menegakkan punggungnya seolah sedang menantang angin. Ia lalu menutup kedua matanya perlahan untuk merasakan semilir angin sore yang menerpa wajahnya dengan lembut sambil merekahkan seulas senyum.

Aiden merasakan ada yang aneh dengan debaran jantungnya saat ini, seperti ada sesuatu yang berlompatan seperti popcorn. Yang jelas, detik itu juga, Aiden tidak dapat melepaskan pandangannya dari Aileen. Terkesima. Ternyata, wajah sahabat yang lebih dikenal dengan sifat berandalnya itu, juga memiliki sisi cantik yang menggemaskan.

Dan tepat pada saat itu jugalah, sebuah pemikiran yang sangat berani, terbit dalam benak Aiden.

Ada pepatah yang mengatakan, kalau cinta itu dapat mengubah seseorang yang pemalu jadi pemberani, dan begitu juga sebaliknya. Mungkin, inilah yang sedang dirasakan Aiden sekarang---jatuh cinta.

"Aku akan melakukannya."

"Apa?"

"Melindungimu."

Aileen mendadak menghentikan aktivitasnya. Dia mungkin terkejut karena mendengar Aiden  berbicara tidak seperti biasanya, malahan terdengar seperti omong kosong. Tapi siapapun pasti dapat merasakan bahwa terdapat tekad yang sangat kuat, dan juga semangat yang membara yang tersirat dalam kata-kata Aiden barusan.

"Aku akan melindungimu, seperti yang seharusnya. Sebagaimana seorang anak laki-laki harus melindungi perempuannya dari apapun."

Aileen mendengus. Geli.

"Jangan bercanda." Aileen malah menganggap kata-kata Aiden sebagai sebuah candaan. Namun raut wajah Aiden menunjukkan bahwa dia tidak sedang melawak sekarang, membuat Aileen lalu menunjukkan ekspresi keheranan karena sahabatnya itu tiba-tiba saja bertingkah aneh. Dia pasti sedang kerasukan roh halus, Aileen membatin.

"Kau tunggu saja. Mari kita jangan saling bertemu selama delapan puluh hari. Dan ketika saatnya nanti tiba, aku tidak akan lagi bersembunyi di belakangmu seperti yang biasa kulakukan, tapi, aku akan berdiri di depanmu dalam keadaan apapun sebagai seorang laki-laki sejati."

***

THAT CRAZY CLUMSY MESSY GIRLWhere stories live. Discover now