2. Liburan (I)

41 0 0
                                    

Pagi-pagi sekali ketika udara masih terlalu dingin dan ternyata rintik hujan berjatuhan dari langit, Senja sudah selesai mandi. Sibuk mengeringkan rambutnya kemudian memoleskan make up ke wajahnya. Kata Bang Bumi, temannya akan menunggu di halte kampus pukul tujuh pagi agar mereka tak kesiangan untuk ke Osaka. Berbeda dengan Senja yang sudah mandi dan rapi, Bumi masih tidur mendengkur di atas kasur. Katanya semalam habis lembur mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan siang ini. 

Ia tak kenal bagaimana rupa teman abangnya itu, tapi masa bodohlah yang penting tidak hilang di negeri orang. Toh, teman abangnya sukarela menemaninya jalan-jalan. Lantas Senja buru-buru mempacking barang bawaannya dalam koper kecil. Rencana selepas dari Osaka, lanjut aja langsung ke Kyoto. Ketimbang bolak-balik ke Nagoya. Biar sekalian lebih efektif. 

Sebenarnya Bang Bumi ada mobil di apartemen, tapi pemuda itu jarang menggunakan mobilnya ke kampus. Lebih sering bersepeda ketimbang beli bahan bakar mahal. Jadi ketika pagi ini dengan muka masih mengantuk Ia dibangunkan oleh Senja dan ditarik disuruh anterin ke halte kampus, maka Ia ogah-ogahan.

"Bang ayolah anterin. Aku kan gatau temen abang bentukannya yang kaya gimana," rengek Senja. 

"Hih lo nih. Bentar gue cuci muka dulu."

Efek sudah dua tahun hidup di Jepang, membuat teman bang Bumi bernama Naren itu sudah duduk di halte kampus bahkan ketika jarum jam masih menunjukkan pukul tujuh kurang. Bumi tersenyum singkat menyapa Naren, kemudian menitipkan Senja kepada pemuda itu. 

"Nih adik yang gue ceritain, namanya Senja. Maaf ya ntar kalo ini bocah agak bar-bar," kata Bumi dan mendorong Senja untuk memperkenalkan dirinya pada Naren. 

"Hai. Aku Senja Kak."

"Ew, sok imut amat lo kutil badak." cibir Bumi yang lantas mendapat balasan injakan keras di kakinya. Senja tersenyum lugu. Sejujurnya Ia sedikit terpesona pada teman abangnya itu. Benar kata si abang kalo Naren katanya ganteng. Beneran ganteng emang, wajahnya putih bersih dan terawat, potongan rambutnya juga rapi. Terlihat sekali jika pemuda itu seorang intelek. 

"Kuliah atau liburan, dek?"

"Oh, aku liburan kak."

Naren mengangguk. Tak lama Bumi berpamitan kembali ke apartemen. 

"Duduk dulu Senja." Astaga suara Naren lembut dan terdengar berwibawa sekali. Mungkin jika pemuda itu bercerita mengenai hari-harinya dalam 24/7 maka Senja akan rela mendengarkan.

"Iya Kak." 

"Bus nya masih 15 menit lagi. Mau kemana jadinya sudah dipikirkan?"

"Ikut kak Naren aja gimana."

"Oh, oke kalo begitu. Gak papa ya kalo sesuai rekomendasi saya."

Setelahnya hanya hening. Senja yang memandang mahasiswa-mahasiswa yang berkeliaran di area kampus. Serta Naren yang hanya mengetuk-etukkan jarinya pada bangku halte. 

"Kamu liburan berapa lama di Jepang?"

"Seminggu kak. Kakak kerja disini atau masih kuliah?" Itu hanya basa-basi Senja saja. Buktinya Ia sudah diceritakan oleh Bumi tentang Naren semalam.

"Saya kerja." Naren segera berdiri kala bus menuju stasiun telah datang, "Ayo Senja."

.

.

Naren, lelaki itu memang lebih banyak diam. Pribadinya tidak banyak bicara dan  blak-blakan jika memang tidak terlalu perlu. Namun sepertinya adik temannya itu masih sedikit canggung padanya sehingga Naren tak terlalu sediam biasanya. Malam-malam kemarin Bumi meneleponnya meminta tolong apakah Ia bisa menemani adiknya itu jalan-jalan selama liburan di Jepang. Kebetulan, seminggu ini Ia hanya mengurus surat pindah tugasnya selama dua tahun ke depan untuk kegiatan penelitian di Indonesia. Sudah lama Naren tidak pulang di Indonesia. Mungkin empat tahun yang lalu Ia pulang, biasanya keluarganya yang akan mengunjunginya ketika mereka rindu. 

Selepas lulus sarjana dulu, Ia langsung mendaftar magister di Amerika dengan beasiswa full. Lepas lulus cepat hanya 1,5 tahun Naren sudah diterima program doktoral di London. Mamanya sering menyuruhnya pulang namun pemuda itu enggan sebelum kuliahnya tuntas. Biar segera lulus. Kemudian disinilah sekarang terdampar di Jepang menjabat sebagai assoc. prof setelah selesai program postdoctoralnya selama 1 tahun dan diangkat sebagai assoc.prof karena kecermelangan ide dan dan juga riset-risetnya yang sudah banyak di hak patenkan. 

"Kak Naren turun disini?" suara Senja membuyarkan lamunan Naren. Lelaki itu menoleh ke arah jendela, benar saja mereka telah sampai di stasiun. Tak perlu waktu lama emang hanya lima belas menit dari halte kampus hingga JR stasiun Nagoya. 

"Iya. Ayo!" 

.

.

Perjalanan ke Osaka hanya memakan waktu sekitar 70 menit dengan menggunakan shinkansen. Selama di kereta, Senja sepertinya sudah tak nyaman jika terus memperpanjang kecanggungannya. Makanya tiba-tiba Ia berceloteh ngalor ngidul seolah Naren ia anggap sebagai bang Bumi atau bang Langit saja. 

"Tahu gak Kak, Bang Bumi tuh dulu pas SD pernah main sepeda buat anak TK itu, tau gak sepeda anak TK yang rodanya 3 terus bisa nyanyi-nyanyi kalo dipencet tombolnya?"

Naren menggangguk, " Nah, si abang tau-tau gakuat di tanjakan dekat rumah. Alhasil sepedanya jalan mundur, masuk deh itu ke got. Mana badannya jadi item kek kena lumpur lapindo dia." Senja tertawa puas kala mengingatnya. Bagaimana abangnya yang masih bocah ingusan SD itu terbalur lumpur hitam dan menangis hingga dua hari mengurung di kamar. Malu katanya. 

"Iyakah? Nakal ya kecilnya." 

Senja mengiyakan, "Emang bang Bumi tuh paling nakal ketimbang bang Langit. Bang Langit mah kalem, ada gempa atau syahrini lewat depan rumah aja tetep santuy."

"Kalo kamu gimana, Senja?"

"Aku?" Senja mengerjapkan matanya pelan, meringis kikuk, "Keliatannya aku gimana kak?"

"Gemesin ya kamu." Naren tersenyum lebar. Celotehan Senja membuatnya rindu akan rumah, rindu adiknya--Gista yang suka bercerita seperti Senja. Hingga tanpa sadar lelaki itu mengusak kepala Senja pelan dan senyumnya semakin lebar. "Coba sekarang kamu cerita tentang kamu bagaimana."

"Aku orangnya sih ya gini. Kak Naren mau tahu sesuatu enggak?"

"Apa?"

Senja tersenyum usil, "Tapi kayanya mama kakak deh yang tahu jawabannya valid apa enggak. Soalnya pasti mama kakak ngerasa bangga banget punya anak kaya kakak. Pinter, ganteng, ramah gini lagi."

Naren tertawa, "Iyakah? Oh saya ganteng ya ternyata, Senja."

"Iya. Aku ngungkapin fakta itu kak. Gak bohong." Senja tersenyum lebar, dua jarinya terangkat membentuk tanda peace. "Jangan baper ya Kak, nanti aku repot tanggung jawabnya." 

.

.

.

TBC 


Scripshit!Where stories live. Discover now