Mataku berotasi sebelum akhirnya menuruti kemauannya. Dia mulai membuka kotak pizza di hadapannya.
"Sebenarnya ada acara apa kamu traktir anak-anak?" tanyaku melihatnya mengambil potongan pizza lalu menyuapinya ke mulutku.
"Nggak ada. Aku lagi happy aja, makanya aku traktir mereka," jawabnya menggigit potongan pizza bekas gigitanku.
Entah mengapa aku sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan Rafael yang satu ini. Dia selalu menikmati makan makanan atau minuman bekas dariku.
Melihatnya makan begitu lahap seketika aku teringat sebuah pesan yang tanpa sengaja aku lihat di layar ponselnya tempo hari.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku agak ragu.
"Tentu boleh dong, Sayang." Sekali lagi dia menyuapiku.
"Aku bisa makan sendiri, Rafael," ujarku sedikit jengah.
"Aku tau. Tapi aku suka nyuapi kamu."
Harusnya aku paham dia nggak akan peduli penolakanku.
"Terserah kamu saja."
"Jadi, apa yang ingin kamu tanya?"
"Siapa orang yang bernama Fera?"
Potongan pizza yang hampir masuk ke mulut Rafael mengudara. Mulut Rafael yang terbuka kini mengatup kembali. Lalu matanya beralih menatapku.
"Fera?" Keningnya berkerut.
Aku mengangguk. "Orang yang bernama Fera itu perempuan, 'kan?"
Aku jelas tahu itu nama perempuan. Bukannya apa, aku hanya ingin tahu jawaban langsung dari mulut Rafael.
"Iya, perempuan."
"Siapa dia?" tanyaku lagi.
"Bukan siapa-siapa. Hanya teman." Jawaban Rafael terlalu santai untuk ukuran seseorang yang memiliki sebuah kesalahan.
"Mana mungkin ada teman, yang bilang kangen dan mengharapkan kamu pulang ke Surabaya. Terlebih lagi orang itu perempuan." Aku masih mendesaknya.
Rafael menjeda kegiatan makannya lagi. "Tunggu, kenapa kamu bisa bicara begitu? Apa yang kamu tau?"
"Aku nggak sengaja lihat pesan whatsapp kamu dari orang bernama Fera, dia bilang kangen sama kamu." Aku menunduk setelah mengucapkan itu. Tidak berani melihat ke arah mata Rafael. Lebih kepada tidak ingin Rafael tahu kalau aku ... cemburu.
Hening.
Aneh sekali. Kenapa Rafael tidak bersuara? Terpaksa aku mengangkat wajah saat merasakan kejanggalan ini. Tapi yang aku temukan setelahnya, malah Rafael yang sedang bertopang dagu memandangiku sembari tersenyum aneh.
Aku mengerjap. Tidak paham apa yang sedang dia lakukan.
"Kamu cantik kalau sedang begini," ucapnya kemudian.
Tidak. Aku tidak merasa bangga dengan pujiannya. Karena terdengar sangat aneh.
"Kamu cantik kalau lagi cemburu," ucapnya sekali lagi.
Saat itu juga wajahku mendadak panas. Aku sangsi tidak bisa menyembunyikan semburat merah yang mudah keluar dari wajahku.
"Siapa juga yang cemburu? Enak aja kalau bicara."
"Yang ketahuan cemburu nggak ngaku," goda Rafael menyolek daguku.
"Aku kan cuma tanya bukan cemburu. Emang salah?"
Rafael terkekeh. Tangannya terulur lalu menepuk pelan kepalaku. "kamu tanya nggak salah, cemburu juga nggak salah. Wajar dong kalau kamu cemburu."
"Jadi, dia siapa?" Aku bertanya lagi. Masih belum tuntas rasa penasaran yang bersarang di kepalaku.
"Dia Fera."
"Iya, tau."
"Mantan tunangan aku."
Uhuk!
Rafael segera memberiku air minum namun aku tolak. Aku raih minumku sendiri, dan meneguknya perlahan. Mendorong makanan yang tadi sempat menyangkut di tenggorokan dengabln tiba-tiba.
M a n t a n
Jadi, Rafael sebenarnya juga pernah memiliki pacar bahkan tunangan? Bohong dong kalau dia bilang hanya aku yang dia cintai dari dulu?
Ada sesuatu yang mendadak panas di dalam dadaku. Sebelum aku dengar kata mantan, rasanya tidak sekacau ini.
"Ja-jadi kamu sudah punya tunangan?" Aku melebarkan mata.
"Mantan, Kalila."
"Seenggaknya kamu pernah mencintai mantan tunanganmu itu."
Rafael menggeleng, dan menghentikan kegiatan makannya. "Nggak. Aku dijodohkan waktu itu. Perjodohan bisnis. Suatu hal yang biasa di kalangan mereka. Awalnya, aku coba menerima keputusan itu. Tapi setelah menjalani, aku nggak menemukan kecocokan dengan dia."
"Tapi dia bilang kangen sama kamu. Apa sampai saat ini kalian masih saling berhubungan?" Aku menyipitkan mata.
"Hanya sebatas teman." Rafael mengedik lantas kembali mengambil sepotong pizza.
"Mana ada cerita mantan menjadi teman." Aku mencibir. Bahkan aku dan Wishnu tidak bisa lagi berteman setelah putus.
"Buktinya kami ini."
Aku tidak suka saat Rafael menyebutkan kata 'kami', itu seakan menunjukkan kekompakkan mereka.
"Mungkin memang Fera menyukaiku, tapi karena aku nggak bisa membalas perasaannya, dia setuju agar tunangan ini dibatalkan."
"Dan sampe sekarang wanita itu masih menyukai kamu, begitu?"
Sumpah, kepalaku terasa nyut-nyutan mengetahui semua ini. Mungkin reaksiku berlebihan, tapi aku beneran tidak bisa menyembunyikan rasa kesalku yang tiba-tiba saja meledak-ledak.
"Hubunganku udah lama berakhir Kalila. Apa yang kamu cemaskan? Kalo ada yang cemas, itu seharusnya aku, karena kamu belum putus dari pacarmu itu."
Rafael melemparku lagi pada satu kenyataan. Dia benar. Emosi yang tadi sempat meledak perlahan meluruh.
"Maaf aku hanya--"
"Impianku adalah bisa hidup bersama kamu. Dan hanya dengan kamu putus dari pacarmu, itu bisa terwujud."
"Itu--"
Suara dering ponsel menghentikan kata-kata yang ingin aku keluarkan. Aku melihat panggilan masuk dari layar persegi yang aku bawa. Nama Wishnu muncul di sana.
"Siapa?" tanya Rafael mengangkat sebelah alisnya.
"Wishnu."
Detik itu juga aku mendengar Rafael menghela napas panjang.
Di sini sepi nggak kayak di sebelah. Yang menunggu boss Rafael jangan lupa tap bintang 🌟 yaaw
Publish, Kamis, 11 Juni 2020
Salam cinta,
YOU ARE READING
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...
PART 36
Start from the beginning
