PART 47

1.6K 215 57
                                        

Yang belum follow akun ini, jangan lupa follow dulu ya, biar bisa update cerita-ceritaku.

Dan, sebelum baca tap bintang 🌟 dulu.
Happy reading!
_________________

Sampai makanan datang, Rafael tidak berniat mengatakan apa pun. Bukannya tadi dia bilang ingin bicara sesuatu? Aku terus curi pandang ke arahnya. Sebenarnya dia mau bicara apa, sih?

"Ayo, habiskan makananmu. Biar kamu selalu sehat. Jangan sampai telat makan lagi. Seenggaknya biar yang perhatian sama kamu nggak khawatir."

Kalimat terakhir Rafael membuat keningku berkerut. Aku menatapnya aneh, tetapi dia seakan tidak peduli.

"Tadi katanya kamu mau bicara sesuatu. Sebenarnya ada apa?" tanyaku akhirnya.

Rafael tidak langsung menjawab. Dia meraih gelas, dan meneguk isinya. Baru kemudian, dia menatapku lurus.

"Kalila, aku minta maaf untuk semuanya. Khususnya untuk keretakkan hubunganmu dengan dokter itu. Tapi, aku tidak pernah menyesal, sudah berjuang mendapatkan cintamu. Meskipun akhirnya sampai saat ini kamu belum mau aku ajak berkomitmen. Aku tidak tahu masalahnya apa lagi. Yang jelas aku coba mengerti keadaanmu."

Dugaanku agaknya sedikit benar. Mungkin Rafael sudah jengah dengan sikap tarik ulur yang aku mainkan. Bukannya apa, aku hanya belum siap menjalani hubungan lagi. Bahkan dengan Rafael sekali pun.

"Aku mencoba mengerti keraguanmu. Tapi kamu perlu tahu, Kalila. Sedikit pun aku tidak pernah ragu dengan perasaanku. Aku tidak akan memaksamu lagi. Dan, aku juga tidak mau menjalin hubungan yang tidak pasti lebih lama lagi."

Deg!

"Rafael ...."

Tiba-tiba aku kehilangan selera makan. Apa itu artinya Rafael juga akan melepasku?

"Aku membebaskan kamu memilih jalanmu, Kalila. Bukannya aku lelah, hanya saja aku tidak mau terkesan menekanmu."

Sungguh aku hanya minta waktu sebentar saja. Untuk menenangkan perasaanku. Tidakkah dia mau menunggu waktu itu?

"Lusa, aku kembali ke Surabaya. Pusat sudah menarikku kembali ke sana. Dan kabag baru, besok akan datang."

Aku terkejut dengan kabar ini. Lusa? Tapi kenapa Rafael baru memberitahuku sekarang? Astaga, mendengar itu makanan yang melewati tenggorokanku rasanya menyangkut. Aku segera meraih gelas.

"Kenapa kamu baru bilang sekarang padaku? Apa cuma aku saja di sini yang belum tahu?" tanyaku setelah tenggorokanku kembali lega.

"Nggak, Kalila. Besok, rencananya baru akan aku umumkan beserta pengenalan kabag baru."

Jadi, Rafael beneran akan pergi? Entahlah, ini kabar buruk atau bukan. Yang pasti hatiku mendadak kosong. Seakan tahu kegundahanku, Rafael menggenggam tanganku.

"Maaf, ya, jika terkesan mendadak. Pusat lebih membutuhkan aku. Dan, kabag keuangan yang sebenarnya juga sudah ada. Jadi aku harus kembali lagi ke tugas asliku."

Aku bisa apa? Nggak mungkin juga aku menahannya. Tapi, kenapa harus bersamaan seperti ini? Wishnu dan Rafael, mereka kompak meninggalkan aku. Aku tidak mau sedih, tapi nyatanya air mataku terasa membayang. Menyebalkan sekali.

***

Aku tidak langsung pulang. Aku meminta Rafael agar menurunkanku di kafe Ersa dan meyakinkannya nanti pulang bersama Ersa. Aku tidak bohong. Biasanya akan selalu seperti itu kalau aku mampir ke sana.

Saat aku membuka pintu ruangan Ersa, aku terpaku di tempat melihat sesuatu terjadi di sana. Aku memastikan yang aku lihat itu tidak salah. Bagaimana aku tidak syok seketika saat melihat Ersa dan Milan berpelukan? Ini bukan sekadar pelukan biasa, bukan pelukan saling menguatkan layaknya yang sering aku sama Ersa lakukan. Namun, melihat kepala Ersa jatuh pasrah di dada Milan seperti itu, membuat aku berekspetasi macam-macam. Apa ada yang aku lewatkan di sini?

In Between 1 (END)Where stories live. Discover now