PART 29

2.1K 219 5
                                        

Tante Vira bersedekap tangan menatapku kesal. Aku tahu apa yang akan dia katakan. Setelah Rafael memaksakan diri bertemu dengannya tadi, mood tante anjlok drastis. Wajah ayunya sangat tidak bersahabat. Beberapa kali dia bergumam tak jelas. Aku di sampingnya dari tadi hanya menunduk. Tidak berniat membantah setiap kata yang keluar dari bibirnya.

"Tante benar-benar nggak habis pikir sama kamu, Lila. Sekarang laki-laki itu secara terang-terangan berani datang ke sini. Dan hebatnya lagi dia bilang suka sama kamu. Apa kamu nggak pernah kasih tau dia kalau kamu udah punya pacar?" omel Tante menatapku tajam.

Aku bergeming. Menjawab pun percuma. Sebenarnya aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan tentang Rafael. Tante yang memaksaku duduk untuk mendengarkan.

"Tante nggak mau tau ya, Lila. Kamu harus jauhi laki-laki itu. Tante nggak enak sama Wishnu. Dan, kamu juga harus memikirkan bagaimana selanjutnya hubunganmu sama Wishnu. Apa lagi sekarang ada laki-laki ganteng yang deketin kamu. Tante nggak mau kamu berpaling dari Wishnu. Ingat Lila, Wishnu itu laki-laki baik. Ngerti nggak kamu tante ngomong?"

Aku menghela napas panjang lalu mengangguk. "Iya, Te."

"Dan kejadian tadi, tante harap itu yang pertama dan terakhir ada laki-laki yang datang ke sini selain Wishnu."

Setelah mengatakan itu, Tante Vira beranjak dari duduknya dan kembali ke kamar. Aku memejamkan mata sejenak. Kenapa rasanya sangat susah sekali jujur sama tante tentang perasaanku sendiri? Melihat bagaimana dia bereaksi dengan kedatangan Rafael tadi, bisa aku simpulkan bagaimana seandainya aku berkata jujur bahwa aku belum bisa juga mencintai Wishnu.

Ah! Memusingkan. Aku menyambar tas kecil di atas bufet dan segera keluar dari rumah. Aku ingin menemui Ersa.

***

Ersa sedang ada di depan coffe maker saat aku datang. Aku langsung saja duduk di kursi tinggi yang menghadap padanya. Menampakkan muka kuyu yang mungkin saja sangat tidak sedap dipandang mata.

"Lo kenapa?" tanya Ersa sambil sesekali mengamati mesin kopinya.

Aroma kopi di kafe ini sangat kental. Mungkin saja Ersa juga menggunakan pengharum ruangan rasa kopi untuk kafenya.

"Tadi Rafael ke rumah."

Jawabanku membuat Ersa melotot.

"Serius lo?"

"Dan gue nggak enak banget sama sikap tante. Biar gimana juga Rafael itu atasan gue." Aku menelungkupkan wajah.

"Dia diusir sama Tante Vira?" tanya Ersa dengan nada penasaran.

"Ya gitu deh, setelah sebelumnya mempersilahkan masuk."

"Gue nggak ngerti." Ersa mulai menuang kopinya pada cangkir porselen berwarna putih bermotif menara eiffel.

"Hanya ingin mastiin tujuan Rafael datang ke rumah, gue rasa." Aku kembali menegakkan punggung.

"Terus Rafael gimana?"

"Kelihatannya sih santai. Tapi gue nggak tau perasaannya."

"Ini minum dulu." Ersa mendorong cangkir kopi itu mendekat.

Aromanya menenangkan. Kadang kopi sedikit bisa membuatku rileks. Aku menghirupnya, sedikit meniup sebelum mencoba mencecap sedikit. Racikan Ersa selalu pas. Aku meletakkan kembali cangkirku ke meja bar.

"Gue harus gimana?" tanyaku memandang Ersa dengan tatapan memelas.

Ersa berhenti dengan aktivitasnya dan menatapku. "Mau lo apa?"

In Between 1 (END)Where stories live. Discover now