PART 1

12.5K 593 56
                                        

SEBELUM BACA KUY FOLLOW DULU YA GAES AUTHORNYA.

DAN JANGAN LUPA TAP BINTANG
_____________

*Author note dulu sebelum kalian syok.

Cerita ini dari Bab 1-30 Nggak aku edit sama sekali ya, jadi harap maklum untuk segala kekurangannya. Belum ada waktu buat revisi.

Met Baca Ya.
______________

Langit masih mendung dan hujan turun rintik-rintik saat aku keluar dari lobbi gedung berlantai empat puluh. Hembusan napasku bahkan nyaris tak terdengar karena kalah dengan suara merdu air yang turun dari awan kelabu di atas sana. Beberapa karyawan kantor lebih memilih menerobos hujan dari pada menunggu sampai benar-benar reda. Aku bisa saja seperti mereka jika tidak ingat sedang membawa sebuah laptop di tas. Dan kabar buruknya bahan tas punggungku ini bukanlah anti air. Jadi akan sangat merepotkan jika tas beserta isinya ikut basah kuyup.

Pandanganku mengedar. Satu persatu orang yang menunggu hujan reda seperti diriku berlalu. Kebanyakan mereka karena dijemput seseorang atau memesan taksi online. aku menimang-nimang, perlu jugakah memesan taksi online? Jarak kantor dengan cafe milik Ersa hanya terpaut beberapa gedung. Biasanya aku akan berjalan untuk sampai ke sana. Di musim hujan seperti ini harusnya aku lebih mempersiapkan diri. Tapi nyatanya, aku lebih memilih terjebak hujan dari pada repot-repot membawa payung dari rumah. Baiklah salahkan aku yang tidak mendengarkan perintah Tante Vira yang bersikeras menyuruhku membawa payung ke kantor. Hidup sok simpel yang aku jalani terkadang memang merepotkan.

Aku sama sekali bukan orang yang membenci hujan. Justru sebaliknya sangat menyukai hujan. Dulu saat masih sekolah di musim hujan, aku akan selalu berharap hujan turun bersamaan dengan bel sekolah berbunyi. Kau tau artinya apa? Artinya aku bisa berlama-lama memandang wajah seseorang yang sangat aku sukai di tengah derasnya hujan. Hanya memandang. Itu saja. Tak berharap sesuatu yang lebih. Aku cukup tahu diri. Aku dengannya seperti bumi dan langit. Seperti sekarang.

Aku tercekat. Menyadari sebuah dejavu yang tiba-tiba saja melintas. Laki-laki yang berada beberapa meter dari tempatku berdiri mengundang perhatianku sejenak. Aku nyaris tak berkedip saat sosok itu mengibas-ngibaskan rambut basahnya yang terkena air hujan. Beberapa menit lamanya. Kemudian laki-laki itu bergegas memasuki lobbi gedung. Mataku tak lepas memandang sosok itu. Masih mengikuti kemana laki-laki itu bergerak. Hampir saja aku akan mengejarnya sebelum suara dering ponsel dari dalam saku celana kain yang kukenakan membangunkanku.

Nama Ersa muncul di layar.

"Ya, Sa," sapaku. Mataku masih saja jelalatan mencari sosok itu. Masih belum yakin yang barusan aku lihat bukanlah halusinasiku saja.

"Lo dimana? Kok nggak dateng-dateng?"

"Masih di Sayidah. Hujan nih."

"Dan lo masih bengong aja di situ sementara gue nungguin lo sampe lumutan?"

"Seenggaknya lo masih bisa duduk dengan nyamankan?"

"Lila please deh, lo kan bisa naik taksi online."

"Jarak cafe lo kan deket, mana ada taksi yang mau terima orderan gue."

"Emangnya mereka nggak butuh duit juga?"

"Gue tunggu hujan reda aja deh."

"Hujan ini bakalan lama Saminaaah. Gue nggak mau tau. Pokoknya kalo sepuluh menit lagi lo nggak datang, gue pulang."

Telepon mati sepihak. Aku menggeleng menatap benda persegi di tanganku. Kebiasaan Ersa yang buruk itu masih saja dibudidayakan. Mau tak mau aku menggeser jariku, membuka aplikasi taksi online. Kalau tidak hujan, aku tidak mungkin semanja ini hanya untuk datang ke cafe milik sahabatku yang paling bawel sedunia itu.

In Between 1 (END)Where stories live. Discover now