°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉
Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on.
Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Aku sedang mengetik laporan saat tiba-tiba kantor gaduh karena kedatangan kurir dan office boy yang mengantarkan berboks-boks pizza . Via sampai menghentikan pekerjaannya dan beranjak menghampiri office boy kantor kami.
"Wauw! Pizza! Siapa yang memesan ini?" tanya wanita itu terpekik.
"Ini Pak Rafael, Mbak," jawab OB.
"Pak Bos? Apa dia ultah sekarang?"
Jariku berhenti mengetik, lalu melongok ke sumber kegaduhan. Rafael ulang tahun? Sepertinya tidak. Tapi buat apa Rafael memesan pizza sebanyak itu? Tumbenan.
Dan tak berapa lama, Rafael keluar dari ruangannya. Dia berdehem membuat kami—para staf— memalingkan perhatian padanya.
"Siang semua," sapanya berdiri di depan pintu ruangan.
"Siang, Pak." kami menjawab kompak.
"Saya ada sedikit rezeki. Jadi, siang ini saya traktir kalian pizza. Ini bukan karena saya ulang tahun ya, ultah saya masih jauh."
Rafael tersenyum senang membuatku memicingkan mata curiga. Ada apa? Aku baru sadar dari pagi laki-laki itu terus mengumbar senyum. Sepertinya mood dia memang lagi bagus. Baiklah, aku turut bahagia. Semoga hari ini dia tidak mengganggu pekerjaanku.
"Kalila."
Kepalaku langsung tegak. Aku baru berdoa agar dia tidak mengganggu pekerjaanku padahal.
"Ikut ke ruangan saya."
Tanpa menunggu jawabanku, Rafael kembali masuk ke ruangannya. Aku meluruhkan bahu. Sebelum beranjak, aku menghampiri mereka yang sudah mulai membuka kotak pizza.
"Kelihatannya enak." Aku mencolek sedikit keju yang meleleh.
"Ngapain sih lo Lil? Dipanggil Pak Bos itu," protes Farhan.
"Pura-puranya nggak denger aja."
"Udah sana-sana. Kali aja lo mau dikasih bonus," usir Via membuat mataku mendelik. Bonus pale lo!
Aku pergi ke ruangan Rafael dengan muka bersungut. Tanpa mengetuk, aku mendorong pintunya pelan. Kulihat Rafael sudah duduk di sofa, bukan lagi di kursi putar. Di hadapannya, ada satu kotak pizza dengan dua buah botol air mineral.
"Aku masih banyak pekerjaan," kataku membalas senyumnya yang terukir begitu aku masuk.
Rafael menepuk sofa di sebelahnya. "Istirahat dulu. Yuk, sini duduk. Kita makan sama-sama."
"Aku bisa makan sama teman-teman lainnya di luar."