32. is it my turn now?

27.5K 2.5K 306
                                    


Aku tau dia pasti gemas maksimal karena sikapku yang plin-plan. Tapi itu adanya. Aku emang lagi wishy washy nggak karuan.

Tolong ngerti gitu, jiwa ini masih muda! Aku belum bisa bijak mengambil keputusan. Aku juga masih gampang terombang-ambing. Kenapa dia nggak bisa maklum sih?

Kutarik lengan Pak Banyu dan mengamitnya tanpa pikir panjang ketika di lapangan parkir. Pak Banyu menoleh sesaat, tidak berkomentar sekatapun. Tatapannya seolah berkata, Terserah kamu deh.

Bikin aku ciut seketika. "Pak, aku butuh waktu," cicitku. Bukan gaya Renggas meminta dramatis begitu, tapi ini mendesak, Alfonso!

"Kamu punya banyak waktu sekarang. Lupain saja kesepakatan itu."

Dihempas ... gelombang. Dilemparkan ... angin.

Opick, diem lu ya!

Aku melepas lengannya. Kulirik wajahnya yang masih tanpa emosi. Ada yang mencubit perasaanku. Rasanya nggak rela Pak Banyu kembali jadi 'cuma tetanggaku'. Emang begini kali, ya, selingkuh. Nagih.

Kami memasuki rumah makan padang dengan mimik wajah sekecut susu kemarin sore. Jawaban Pak Banyu itu benar-benar bikin asam lambungku naik. Aku jadi memikirkan gimana perasaan Pak Banyu saat kusuruh melupakan hubungan kami waktu itu.

Shit, pasti antara ingin mengirimku ke pulau tak berpenghuni di Karibia atau menyesatkanku ke Arctic dan jadi mangsa beruang kutub di sana.

Ya ampun. Aku menyesal banget ini loh.

Sebenernya juga, aku agak terdistraksi. Makan siang dua jam yang lalu aja belum selesai diproses lambung, ini kok Pak Banyu udah bawa aku ke rumah makan lagi sih. Ada niat bikin aku gemuk kayanya.

Mau protes, tapi kok nggak penting.

Ia mengambil piring. Aku berharap ia mengambilkan untukku juga, seperti di Hokben waktu itu. Tapi zonk! Pak Banyu bahkan nggak menoleh saat ada ibu-ibu yang mendorong dan memarahiku karena membuat antrian.

Aku mau nangis aja. Udah cocok banget jadi istri protagonis korban suami arogan yang mengundang simpati penonton sebangsa dan senegara, betul?

Aku cepat-cepat mengambil piring lalu menyusul Pak Banyu yang sedang memilih lauk. Ia menoleh saat aku sampai di sebelahnya. Saat mata kami bertemu, ia malah mengalihkan pandangannya ke piringku.

Se-enggak sudi itu kah?

"Kamu nggak ambil nasi?" tanyanya saat aku ling lung.

Aku menunduk. Piringku kosong. Aduh, bego!

Aku nggak mungkin mengaku diet lah. Ngaku bego lebih masuk akal.

Belum selesai memaki diriku sendiri karena entah ke mana otak cantikku sekarang, Pak Banyu sudah mengambil alih piringku. Sedetik kemudian kulihat punggungnya menjauh. Ia mengambilkan nasi untukku, Demi Tuhan.

Lagi ngambek aja masih baik banget?

Emang dasar nggak punya perasaan! Bikin aku makin merasa bersalah aja siiiiii, kesel!

Ia kembali dan aku memalingkan wajah saking malunya. Malu karena sudah menyakiti pria sebaik Pak Banyu.

Aku nggak sengaja! Ya ampun, kok jadi panjang gini sih! Pak Banyu juga tumben amat sensinya berbuntut begini.

Aku menerima piringku dan langsung membalikkan badan. Nggak tahan karena raut tidak pedulinya. Ia berdiri di sebelahku, dekat, tapi rasanya dia bukan Pak Banyu versi yang aku mau. Ibarat ini Pak Banyu versi Jakarta, bukan versi Jogja yang jadi simpananku. Ya ampun, simpanan aja bikin hati gonjang ganjing.

Jangan, Pak!Where stories live. Discover now