4. Jogja kota mantan

42.5K 4K 74
                                    


To Gata
Jogja, I'm coming.

Adisucipto benar-benar butuh pertolongan. Bandara kecil tapi terlalu sibuk. Semrawut dan kurang bersih. Oh, sungguh. Padahal ini bandara idola banget. Mudah diakses, dekat pusat kota daripada bandara baru yang jauh dari kota Jogja.

Oke, tinggalkan ketidakpuasanku. Kuhubungi Gata sambil meninggalkan terminal kedatangan. Barangku tidak terlalu banyak, membuatku tidak kerepotan. Kata Pak Banyu kemarin, terlalu banyak barang bawaan bikin liburan ribet. Asal yang dibutuhkan saja cukup. Pak Banyu tuh emang hobi berpetuah, ya.

Aku menghela napas panjang. Seorang pria berjalan di depanku sambil merokok. Pffft ... oke aku tau ini sudah di ruang terbuka, tapi tetap saja banyak orang di sekitar. Ayo dong, perokok-perokok santun, hargai kebebasan orang lain untuk menghirup udara sehat! Kita sama-sama saling menghormati, gitu loh.

Pak Menkes apa nggak mau jadiin aku duta kesehatan masyarakat ini?

"Maaf, Mas." Aku nekat menyusul si Mas. Kulihat rokoknya yang baru terbakar ujungnya.

"Ada apa, Mbak?" Si Mas berhenti.

"Mohon merokoknya kalau udah keluar bandara aja dong, Mas. Banyak orang nih di sini, banyak orang tua tuh." Sebenarnya, bukan cuma Mas ini yang merokok, banyak yang lain. Cuma dia di depanku tepat. Aku gatal untuk menegurnya.

Si Mas membulatkan bibir. "Oh, sorry sorry, Mbak." Si Mas langsung membuang rokok ke dekat sepatunya, lalu menginjak. Kembali ia ambil rokoknya yang sudah padam. "Nggak tahan, Mbak. Sorry, deh, ya." 

Aku terkekeh. Untung Mas-nya nggak emosi kutegur begitu. "Sorry juga, ya, Mas, sia-sia itu sebatang," balasku nyengir. Mas-nya malah tertawa, mungkin merasa girang karena ditegur perempuan cantik sepertiku ya kan. "Mari, Mas. Saya duluan."

Si Mas memberi senyum lebar dan menyilakanku. Sangat bersahabat. "O, ya, Mbak. Selamat datang di Jogja."

"Selamat datang di Jogja juga, Mas," balasku sebelum benar-benar mendahuluinya.

"Taaaaaaaa!" "Reeeeeeee!" Aku dan Gata berteriak heboh saat saling bersitatap mata

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Taaaaaaaa!" "Reeeeeeee!" Aku dan Gata berteriak heboh saat saling bersitatap mata. Tawa kami pecah. Ia langsung menghampiriku. "Anjing, cantik banget sekarang, Re!"

"Ih, masak anjing cantik, sih?" Aku tertawa malu. Kami bersalaman lalu berpelukan.

"Udah lama nunggu? Sorry, tadi agak macet." Ia mengambil alih koperku.

Aku tidak menjawab dan hanya menatapnya dengan wajah jenaka. Aduh, berapa tahun sih nggak ketemu Gata? Sekarang dia sudah jadi pria dewasa begini. Segala brewok tipis menggoda itu. Wah, Dimas maaf.

Tidak bisa dipungkiri, Gata tuh memang tipe lelaki idamanku. Pintar, tinggi, cakep dengan wajah oriental yang tidak terlalu mencolok, matanya lumayan belo dan jernih, open minded, tipeku sekali. Yaaa, kalau bukan idaman, nggak mungkin kupacari dulu. Hanya saja dia bukan dokter atau arsitek sekarang. Dia seorang jurnalis.

Jangan, Pak!Where stories live. Discover now