1. mulai dari bubur ayam

135K 7.4K 443
                                    

ASSALAMUALAIKUM. SHALOM. OM SWASTYASTU. NAMO BUDDHAYA. SALAM KEBAJIKAN

PLIS, TOLONG, MOHON, NGGAK USAH TANYA KENAPA KEMARIN DIUNPUBLISH, OKE? KALIAN TAU KAN BETAPA PLIN PLANNYA GUAAAAA?

HAPPY READING!

"Bubur ayam dulu, Re." Pak Banyu menahanku sebelum memasuki kompleks.

Pagi belum beranjak, sehabis lari keliling kompleks, enaknya memang menikmati bubur ayam pinggir jalan ini. Letaknya lima puluh meter dari pintu masuk kompleks. Sudah terjamin, terkualifikasi di lidahku, enaknya pol.

Duduk di trotoar jalan tanpa alas, kaki bersila, saling berhadapan. Kulihat Pak Banyu dan mangkuk buburnya bergantian. Lucu, masih ada saja orang yang makan bubur ayam tanpa diaduk. Lihat dong kenikmatan bubur ayam diaduk! Rasanya surgawi, walau kata Mas Rehan bentuknya mirip poop sapi.

"Re."

"Iya, Pak." Aku tergagap ketika Pak Banyu tiba-tiba mengangkat pandangannya.

"Harga emas udah di tujuh ratus ribu-an minggu ini."

"Ah, iya, baca juga kemarin. Jadi mau nambah investasi emas dong, Pak." Aku menyuap buburku. Mmm, yummy.

"Saya?"

Aku angguk-angguk kepala.

"Baru kemarin saya investasi obligasi. Saya kasih tahu kamu, biar kamu yang mulai investasi emas. Jangan jajan mulu," Pak Banyu menunjukku.

Aku nyengir. "Nanti deh aku tanya Mas Rehan."

"Dari dulu belum jadi tanya Rehan?"

Kan emang nggak niat tanya, orang itu cuma alasan. Aku ketawa dalam hati. Memang berat ya menyisihkan duit untuk diinvestasikan. Godaan tas dan baju di mall itu loh. "Nanti beneran deh, mulai."

Pak Banyu manggut dengan alis naik rendah, seperti tidak percaya ucapanku. Walau kami berbeda alam perkara bubur ayam diaduk atau enggak, aku dan Pak Banyu kenyataannya sangat klop. Bahkan ia malah lebih seperti kakakku dari pada Mas Rehan yang kakak kandungku.

Meski sudah kepala empat, dia tidak enggan mengikuti zaman. Jadi mengobrol dengannya pun tidak seperti mengobrol dengan pria usia empat puluhan. Kadang malah seperti ngobrol dengan teman seumuran. Walau bukan jenis teman yang selalu menyenangkan.

Aku cuma membawa uang empat ribu rupiah. Jadi, Pak Banyu menambahi membayar buburku. Sudah biasa begitu, aku memang maunya menang banyak. Lari pagi ditemani, makan bubur dibayari. Dia juga tidak keberatan kok.

Setelah membayar kami kembali ke kompleks. Rumah kami saling berhadapan, rumah kelima dari pintu masuk kompleks. Rumahku nomor 5A, sedangkan rumah Pak Banyu nomor 5B-6B.

Melewati rumah pertama.

"Gimana tempat kerja baru?"

"Berat, Pak."

Pak Banyu terkekeh. Kekehnya yang jarang itu membuatku mendelik sesaat. "Namanya juga kerja. Untung dapat kerjaan."

"Itu juga berkat Mas Rehan. Kalau enggak Mas Rehan, ya, aku masih nganggur di rumah," kekehku tak peduli malu. Dia sudah tau banyak hal memalukan tentangku, tambah satu tidak berarti apa-apa.

Pak Banyu tersenyum tipis. "Sudah kenal teman-teman kantor?"

"Sebagian. Ehh, Pak," ku membuatnya menoleh penuh padaku. "Masa ada orang kantor yang mengaku kenal banget sama Pak Banyu."

"O, ya, siapa namanya?"

"Arsi. Jangan-jangan Pak Arsi cuma mengada-ada."

"Arsi Pangesang?"

"Iya! Kenal deket, Pak?"

"Iya. Teman saya itu, cukup dekat kok. Beberapa kali ke sini." Ke sini maksudnya pasti rumahnya sendiri.

Melewati rumah kedua.

"O, pantes."

"Pantas?"

"Eh, enggak. Cuma, waktu aku perkenalan gitu, Pak Arsi langsung motong "kamu tetangganya Banyu 'kan?" gitu masa," tiruku mengingat kurang yakin kalimat Pak Arsi—salah satu partner di konsultan tempatku bekerja.

Pak Banyu melirikku sedikit lalu manggut. "Kamu di team Arsi?"

"Iya." Aku mengernyit. "Kok dia negur langsung gitu, ya? Kalau pun pernah ngelihat aku dan tau aku tetangga Pak Banyu, masa tiba-tiba humble gitu. Seorang partner loh."

Ia terkekeh sambil manggut-manggut. "Dia memang humble, kok. Smart and truly humble. Dia dari MIT, kamu beruntung kalau bisa jadi mentee langsung dia."

"Hngg. Sibuk banget lah Pak Arsi-nya. Masa mentorin anak bawang baru."

Melewati rumah ketiga.

"Pak Banyu Mbak Renggaaaaaaaaaaasss." Suara cempreng dari rumah di sebelah kanan kami menyela. Bisa kutebak siapa orangnya, Manda. Gadis gendut yang belum punya KTP itu muncul dari balik gerbang rumahnya.

Sebenarnya, aku malas meladeni ini bocah. Langsung ingin pulang lalu berendam susu, tapi malah Pak Banyu menghampirinya. Mau tak mau aku mengikuti.

"Kok di rumah, Man?"

"Iya, dong Pak. 'Kan minggu. Pak Banyu kok di jalan, sama Mbak Renggas aja. Ngapain hayoo?" Ini nih yang bikin aku malas meladeni Manda.

"Habis lari, Manda," sahutku.

"Lari apa berduaan?"

Tuh 'kan.

"Lari berdua." Pak Banyu menyahut dengan senyum segaris.

"Pintar, deh, Pak Banyu. Mbak Renggas lebih pintar lagi, lari pagi minta ditemani Pak Banyu."

"Heei. Kalau minta ditemani kamu udah pasti nggak maunya," tukasku cepat.

"Iya, sih. Emang udah bener minta di temani Pak Banyu, Mbak, udah pasti mau. Jangankan teman lari, teman hidup aja Pak Banyu pasti mau."

"HEEEEE!!" Aku memukul lengan Manda. Salting langsung. Kulirik Pak Banyu yang tidak bereaksi selain hanya mengangkat sedikit kedua alisnya.

Ampun deh! Pak Banyu ini orang yang paling kuhormati loh. Dia bukan cuma tetanggaku, dia juga dosenku dulu, dan dia sudah seperti pengganti Papa untukku dan Mas Rehan--kakakku. Manda ini minta dikenalkan sama Ryan Gosling, ya?

"Udah yuk Pak, nggak usah dengerin Manda, melindur kali dia." Kuseret Pak Banyu dari depan rumah Manda.

Kami melewati rumah keempat dengan langkahku yang makin buru-buru.

"Manda tuh gitu Pak. Ngacoan anaknya."

"O."

Diam. Pak Banyu berhenti, aku ikut berhenti. Jadilah kami berdiri di tengah jalan.

"Lengan saya, Re. Saya mau masuk, sepertinya Sena sudah bangun," katanya dengan gerak mata menunjuk tanganku yang nakal mengait lengannya.

"Astaghfirullah, Ya Rabb!" Aku buru-buru menarik tangan dan mundur selangkah. "Ehh, sorry Pak."

"Ya, nggak pa-pa. Cuma saya harus bantu Sena siap-siap."

"Ahh, iya, Pak. Silaken!"

 Silaken!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Jangan, Pak!Where stories live. Discover now