7. mantan selingkuhan tukang nampol (GEBE)

30.7K 3K 68
                                    


"Kok yang dihubungi Gata, bukan aku, seh?" Baru banget pantatku nempel di kursi mobil, Gebe sudah menodongku dengan pertanyaan sengit itu. Ini kayak aku tersangka pencuri ayam aja sih, nggak santai banget nanyanya.

Gebe tidak banyak berubah. Badan boleh tambah gede, tampang makin kelihatan dewasa, tapi jiwa kompetitif kekanak-kanakannya pada Gata belum hilang juga.

"Lo 'kan sibuk, Mas Bos," balasku santai. Kecanggungan yang sempat kubayangkan ternyata tak terjadi. Aku belum sempat merasa canggung, dia udah ngegas aja. Bersyukur sih.

"Alesan, alesan, Koen. Lebih sibuk dia daripada aku. Mentang-mentang dia mantan pacar ta?" Sengaknya juga nggak berubah. Ini sih benar-benar Gebe enam tahun lalu, cuma kemasannya aja beda.

Kalau aku balas nyolot juga, bisa-bisa kita berdua jambak-jambakan di mobil nih. Bukannya nggak mungkin, jiwa barbarian Gebe memang perlu diwaspadai. "Ya, gitu lah, Ge. Selingkuhan tuh emang main duty-nya cemburu sama pacar utama."

"Hilih, mekitik!" (Sok iye!) "Pacar utama kok jirih." (Pacar utama kok penakut)

Aku tergelak dan menampar lengannya memperingati. Aku tertawa karena ingat tingkah Gata beberapa menit lalu. Setelah Gebe datang, ia buru-buru banget pamit. Katanya ada urusan pekerjaan. Nggak tau deh betul urusan kerjaan atau cuma alasan. Tadi sih mereka memang memperlihatkan gesture santai. Saling sapa, saling lempar senyum tipis, tapi mencolok banget kesan terpaksanya. Gata memang kelihatan paling nggak jenak di antara kami.

Sudah keputusan paling benar Gata undur diri. Kasih kesempatan buat Gebe ya, Ta.

"Balikan ta?"

"Eh, eh, eh. " Yang bener aja. "Aku sehat, Ge. Makasih nggak nanya kabar," sindirku, ia mendecih. "Enggak lah. Gue udah punya pacar di Jakarta," lanjutku menjawab pertanyaan ngawurnya.

Komunikasi aja baru seminggu sebelum ke Jogja, masak langsung balikan. Gegabah itu kalau sampai terjadi. Pengetahuan penting banget ini, mau rujuk tuh malah lebih banyak hal yang harus dipertimbangkan daripada jadian pertama kali.

Loh, kayak ada niat gitu, sih. Dimas mau dikoleksi di mana, Re?

"'Kan di Jogja belum," balasnya cengengesan.

"BNPB kali tiap daerah ada."

"Siapa tau memang jodohnya Gata. Dulu 'kan ada aku yang nengah-nengahi hubungan kalian ta a? Sekarang nggak mau coba ngulang?" Mungkin Gebe sedang berusaha menebus dosa pada Gata, sampai menyarankan aku begitu. Atau mungkin dia memang cuma asal omong aja seperti biasa. Hobi banget dia bikin orang pusing dengan omongannya.

"Setelah enam tahun, lo baru nyuruh balikan, Ge. Ck ck ck. Udah kadaluarsa lama. Remidi matematika aja ada tenggang waktunya, masa balikan enggak," balasku masa bodoh. Kalau emang ada kesempatan untuk mengembalikan keadaan seperti semula, aku ingin kami kembali pada pertemanan sebelum aku berpacaran dengan Gata. Tapi nggak usah ada kesempatan itu lah, tidak menjamin tidak ada masalah pengganti lain.

Saling berbalas nyolot dengannya membuatku tidak menyadari ternyata Gebe membawaku ke angkringan. Angkringan ini, angkringan.

Kita tau di sepanjang pinggir jalan di Jogja tuh isinya angkringan semua. Kedai kopi juga belum bisa mengalahkan populasi angkringan di Jogja. Mainstream-nya keterlaluan.

Pada kesempatan yang singkat ini, Gebe nggak ada sama sekali niat bikin gue terkesan gitu. Mobilnya udah Pajero, bawa cewek cantik kok ke angkringan. Di matanya aku tidak potensial banget?

Kok sok standar tinggi sih! "Bukannya Jogja udah banyak restoran, ya. Outlet lah outlet, outlet fast food seenggaknya," sindirku sudah seperti mak-mak pakai daster rambut rol-rol-an.

Jangan, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang