19. kampret talk bersama tetangga

31.3K 3.1K 255
                                    

Aku kembali ke hotel dengan perasaan kesal. Oke, ada sedikit malu, tapi ini lebih ke tersinggung. Ini tuh bukan urusan dia, kok dia sok menghakimiku! Mentang-mentang namanya Hakim, gitu?

"Kenapa mukanya ditekuk?"

Aku mengangkat pandangan dan seketika melotot. "Kenapa ..." aku tersedak ludah. Mendadak hilang kekesalanku karena si Hakim, ini orang tua di depanku sembilan sembilan sembilan sembilan sembilan kali lebih ngeselin! Ngeselin nggak ada duanya! "KENAPA PAKAI HANDUK SIH PAK?! YA ALLAH!"

Aku mau cabut ke Semarang aja lah. Capek banget, asli. Apalagi ini Ya Tuhaaaan?

PAK BANYU CUMA PAKAI HANDUK SEPINGGANG DI KAMARKU! MIKIR APA ORANG TUA INI!

"Memang boleh telanjang?"

Aku makin memelototinya. Yang dipelototi berdiri santai di sebelah ranjang dan barusan menaruh ponsel ke nakas. Dia beneran nggak nyadar badannya bikin orang lain ngiler? Kok kayak enggak. Ini kesannya sengaja banget bikin gue porak poranda. Woy, udah luluh lantak nih!

"Kalau berani sini, biar kupanggil orang sehotel! Nobar kita!" tantangku yang dianggapnya lelucon karena ia cuma tertawa. Ya, syukur lah nggak diseriusin. Aku keder sendiri nanti.

Ambil napas, Re! Buang. Stop liatin dadanya!

"Cepet nih pakai bajunya!" Kutaruh belanjaan di sofa. Tidak lagi aku menatap ke arahnya, menjaga otak mesumku tetap tidur.

"Underwear-nya dapat 'kan?"

"Ha-iya, iya lah." Aku menaikkan nada bicara, panik, salah tingkah.

Ia terkekeh. Sialan! Lagi murah ketawa banget situ? Terus dikira aku Nunung diketawain mulu?

Ia berjalan santai mendekat. "Ukuran L 'kan?"

"PAK!" Aku terbelalak saat sadar dia makin dekat di hadapanku. Aduh, kenapa nggak aku lempar aja sih belanjaannya! Malah ini kesannya aku mengundang singa masuk ke tendaku.

Ia terkekeh. "Why? Like what you see?" Suaranya makin berat dan ia main wink-wink.

Ck, punya suami mesum banget ... WOY RE! AH! "Sarap!"

Itu lagi cupang di leher makin merah banget.

Kenapa dia biasa aja sih? Nggak marah gitu? Kalau temen-temennya notice gimana? Yah, udah pasti notice lah, jelas gitu. Itu mata minus empat kaga pake kacamata aja bisa lihat dari kejauhan seratus meter saking menterengnya. Belum nyadar, ya, Pak?

Nggak kebayang deh nanti. Aduh, ini dia yang tercupang, tapi malah aku yang malu sampai mules.

Aku makin melotot. Tiba-tiba udah di depan mata aja ini ujian hidup. Aku menahan napas saat ia lebih dekat. Kuraih gagang pintu di belakangku, tapi berhenti saat dia juga berhenti di depanku. Tepat di depanku. Cuma pake handuk. Kebayang nggak sih seberapa aku puyeng sekarang? Ini udah ngalahin adegan sinetron nggak masuk akalnya.

Segala senyum polos manis begitu! Tanganku reflek melepas gagang pintu dan naik untuk menahannya, tapi turun lagi karena dada Pak Banyu telanjang. Takut dikira grepe-grepe, eh dia GR, aku digrepe balik, dosa loh itu!

"Beneran ini saya telanjang di sini?" Senyum jenakanya!

Tepok jidat! "Ya Allah! Pak Banyu!" Aku melotot. Melotot selebar papan karambol, Ya Tuhan Nun Agung. Bener-bener nggak habis pikir kalimat seperti itu bisa keluar dari mulut Pak Banyu. Nada santai dan tampang polos, tapi bikin pipi dan dadaku kebakaran.

Banyuuu, Banyuuu, belajar di mana kamu menakali tetangga sendiri ...??

"Pak Banyu kerasukan apa sih!" Tangannya bergerak di pinggiran handuk. "PAAAK!"

Jangan, Pak!Where stories live. Discover now