30. kencan kedua

28.4K 2.4K 276
                                    

Mobil sunyi dari suara kami berdua. Cuma ada Beast of Burden dari Rolling Stones yang mengalun dengan volume rendah di sekitar kami. Entah kenapa Pak Banyu tidak membuka obrolan sama sekali. Sedangkan, aku juga mengunci mulut karena memang masih kesal maksimal padanya.

Gara-gara semalam. Caca dan Pak Banyu memang dua orang rese.

"Sama siapa lo? Eh, sumpah deh, liat tuh! Pak Banyu! Bisa banget kite bertiga di Hokben bareng begini."

Awalnya Caca tidak curiga. Dia terlalu excited bisa bertemu lagi Dosen Fantasi-nya. Ia langsung saja menyeretku ke meja Pak Banyu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswi yang selalu dapat nilai B+ di kelas Pak Banyu dulu, nilai tertinggi yang pernah Pak Banyu berikan di kelasku. Sementara Pak Banyu memandangku dan Caca bergantian dengan senyum dan membaca situasi.

Kode-kode 'kita nggak datang bareng!' kugencarkan. Aku cuma berharap kepintaran dan kejeniusannya yang selama ini digemborkan orang-orang itu nyata adanya.

Tapi aku lupa, orang pintar dan jenius mungkin juga orang yang licin dan licik. Apalagi kalau ada mau. Itu mungkin banget!

Aku duduk di sebelah Caca, berhadapan dengan Pak Banyu. Tepat di depan matanya yang sudah memberiku sinyal tidak enak.

Enggan menatapnya, kualihkan pandangan ke meja. Itu juga sebagai usaha untuk fokus menyusun rencana buat membawa Caca pergi dari sana. Tapi bukannya menemukan skenario pelarian terbaik, aku malah dikejutkan dengan skenario paling nggak masuk akal saat kulihat benda pipih di sebelah siku Pak Banyu yang ada di atas meja.

Dua detik kemudian, kepanikan baru menyerangku. Itu handphoneku loh!

Heh! Rese banget sih! Maunya apa coba?!

"Nggas."

Aku sudah merasa nggak enak banget atas panggilan bernada bingung Caca. Saat aku menoleh, sebelah alis Caca terangkat dan ia mengedik ke arah handphone di sebelah Pak Banyu dengan tatapan menuding.

Jelas Caca tau itu handphone-ku. Emang ada lagi orang yang iPhone case-nya gambar biskuit regal selain Rere si oon adik Mas Rehan?

Secepat hujan turun dan secepat itulah affair kami bocor ke gentong gosip.

Pastinya aku malu lah! Siangnya aku sok amit-amit banget, malamnya ke-gep lagi kencan. Bener-bener definisi jilat ludah sendiri.

"Pak, saya mau tanya nih," ucap Caca saat kami bertiga keluar dari Hoka-Hoka Bento. Aku di sebelah kiri Pak Banyu dan Caca di sebelah kanannya. "Tapi Bapak jangan marah, ya."

Bau-baunya sudah nggak enak sejak dia buka suara. Alarm bahaya berbunyi di kepalaku. Aku seketika pindah ke sebelah Caca, berniat mengerem hal apapun yang tidak pantas didengar keluar dari mulutnya. Kini jadi Caca ada di antara aku dan Pak Banyu. Awas saja Caca tanya hal nggak penting semacam warna kancut atau diameter pantat! Bakal kugorok itu iPhone barunya!

Pak Banyu yang menyadari aku tidak ada di sebelahnya melongok ke sebelah Caca. Dengan santai dan entengnya aku dicekal dan ditarik lagi ... ke dalam rangkulannya! Sekali lagi, ke dalam rangkulannya! Caca makin melotot sinis padaku. Sementara aku cuma bisa pasrah dan legowo di ketiak Pak Banyu.

Mau bagaimana lagi? Mengelak? Nggak, makasih. Cuma bakal jadi sinetron memalukan. Ujung-ujungnya Caca tetap lebih percaya Pak Banyu. Toh memang begitu adanya.

"Oh, saya udah tau jawabannya kok, Pak. Sip!" Caca mengangkat jari OKE!-nya dan tersenyum manis pada Pak Banyu. Sedangkan padaku, ia kembali melempar tampang ingin menggorok dan ekspresi 'lo harus jelasin semuanya!'.

Jangan, Pak!Where stories live. Discover now