Epilog

1K 121 42
                                    

Yes, kita sampai pada epilog. Selamat membaca ❤️
.
.
.

Suara ketukan di pintu membuatku segera meletakkan sisir di atas meja, lalu melangkah menuju pintu. Saat membukanya, sosok Nugi langsung memenuhi pandanganku. Dia tersenyum, sangat lebar hingga aku takut nanti bibirnya akan sobek.

"Siap?" tanyanya.

Aku mengangguk. Setelah mengunci pintu kontrakan, kami berjalan beriringan menuruni undakan. Sesekali, aku melirik penampilan laki-laki yang dua tahun lebih tua dariku ini. Hari ini dia memakai celana jeans putih dengan robekan kecil di bagian lutut, dipadukan dengan kaus berwarna abu-abu dan dibalut jaket army yang sudah lusuh. Penampilan yang sangat khas dia sekali. Seperti pertama kali aku bertemu dengannya.

"Tunggu." Dia menahan tanganku yang terangkat untuk memasang helm.

"Apa?" tanyaku.

Dia menggeleng, memiringkan bibir sambil terus menatapku. Aku berdecak, merasa risih ditatap seperti itu.

"Apa, Nugi?" ulangku.

Tanpa kata-kata, dia mengulurkan tangan ke belakang kepalaku, lalu setelahnya kurasakan rambutku terlepas dari ikatannya.

"Nugi!" Aku menatapnya kesal.

Dia menyimpan ikat rambutku di saku celana, lalu mengedikkan bahu dengan cuek. "Aku nggak suka rambut kamu diikat."

Aku terperangah. Laki-laki ini! "Apa kamu merasa berhak mengaturku?"

"Soon, ice girl." Nugi mengedipkan sebelah mata, membuatku mendengus geli. "Sudahlah, ayo dipakai helmnya. Atau nunggu aku pakaikan?'

Dengan cemberut, aku memakai helm dan langsung duduk di boncengannya. Lalu Nugi segera memacu motornya dengan kecepatan sedang. Hari ini kami akan datang menjenguk Ayah. Laki-laki ini meminta izin padaku, dua minggu lalu, tepatnya saat perayaan kelulusan mereka di rumah singgah. Aku tidak tahu apa yang akan dia bicarakan dengan Ayah. Tapi aku berusaha untuk berpikiran positif, bahwa dia melakukannya sebagai salah satu temanku.

Beberapa saat kemudian, kami sampai di rutan. Dengan senyum yang tak juga luntur, Nugi membantu melepas helm di kepalaku. Aku sedikit terpana dibuatnya. Lalu dia mengajakku masuk. Sayangnya, saat sampai di ruang tunggu depan, dia mengatakan hal yang membuatku bingung.

"Kamu duduk di sini saja."

Aku melirik kursi panjang yang dia tunjuk. "Maksudnya?"

Dia mengangguk. "Kamu duduk di sini. Aku mau ketemu Ayah dulu."

"Ayah?" beoku.

Dia mengangguk lagi. "Paman Indra setuju kok kalau aku panggil dia 'Ayah'."

Aku berdecak. Kegilaan apa lagi ini? Dan– "Kamu pernah ngobrol sama Ayah?"

"Waktu Ayah dirawat. Waktu kamu sibuk menghindari aku."

"Kok kamu tidak cerita?"

"Karena aku memang nggak niat cerita."

Aku mengusap wajah dengan kasar. Dan dia malah makin melebarkan senyumnya.

"Sudah, jangan dipikirkan. Kamu tunggu di sini, aku masuk dulu. Aku harus bicara empat mata dengan Ayah." Dia menggaruk tengkuk saat mengucapkan kalimat terakhir itu.

"Ada rahasia yang tidak boleh aku tahu?"

"Bukan rahasia, Nona Kaku." Nugi menyugar rambutnya. "Aku kasih tahu setelah kita pulang dari sini. Aku janji."

Aku menghela napas, lalu mengangguk. Nugi tersenyum senang, dan masuk ke ruang besuk. Sedangkan aku duduk di bangku tunggu sambil memainkan ponsel untuk mengalihkan kebosanan. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang dia laki-laki itu bicarakan, tapi karena Nugi janji akan memberitahu, ya sudah aku hanya perlu menunggu.

***

Setelah menjenguk Ayah, Nugi membawaku pulang ke rumah singgah. Tepatnya di belakang rumah singgah, kami sekarang duduk bersisian. Aku memandang lurus ke depan. Pada ilalang dan rumput liar bergoyang-goyang tertiup angin. Juga dinding batu bata yang sudah banyak berlumut. Rumah ini perlu banyak perbaikan agar bisa layak ditinggali anak-anak.

"Aku dan teman-teman ada rencana mau renovasi rumah ini."

Aku menoleh ke arah Nugi yang juga memandangi rumah ini. Kalimat barusan adalah kalimat pertama, setelah dia selesai bicara dengan Ayah. Dia berubah jadi pendiam dan kelihatan sangat gugup. Saat aku bertanya, Ayah bilang biar Nugi saja yang bicara. Dan sekarang aku sedang menunggu. Tapi dia malah membahas renovasi.

"Semoga bisa cepat kesampaian," balasku.

Dia mengangguk. "Juga rencananya mau dijadikan panti asuhan yang legal di mata hukum."

Aku mengerjap takjub. "Aamiin."

"Nanti kalau sudah jadi panti asuhan," Nugi memiringkan duduknya hingga menghadapku. "Kamu tinggal di sini saja, ya?"

"Hah?" Aku mengerutkan kening dengan bingung.

"Iya. Kamu tinggal di sini. Sama Mamak. Sama anak-anak. Kamu mau kan?"

"T-tapi–"

"Aku nggak mau terus-terusan khawatir karena kamu tinggal sendirian."

Aku terkesiap. Jantungku seakan berdentum di dalam sana. "Kamu ... apa?"

Dia kembali melihat ke depan sambil tertawa kecil. "Aku nggak tahu kalau akhirnya malah akan jatuh sama gadis cengeng yang nangis di halte seperti orang gila. Gadis yang aku sakiti karena ayah dan keluarganya aku sumpah-sumpahi."

Perutku rasanya seperti melilit. "Ja-jatuh?"

"Cinta." Dia menyambung sambil tertawa lagi. "Kemungkinan pada pandangan pertama."

Aku spontan berdiri. "Nugi...."

Dia mendongak. "Nggak salah kan kalau aku sayang kamu?"

"Nugi." Aku mengepalkan kedua tangan. "Aku anak koruptor. Aku cuma lulusan SMA. Keluargaku berantakan. Selain Ayah dan Kinan, aku tidak punya siapa-siapa yang mengharapkan keberadaanku. Bahkan keluarga Kinan saja sangat benci aku."

"Ada." Nugi berkata tegas. "Mamak, anak-anak, teman-temanku—teman-teman kita, mereka mengharapkan keberadaan kamu. Dan terutama ... aku."

"Tapi–"

"Aku nggak peduli latar belakang kamu, Rain. Aku mau Rain. Yang kuat walaupun cengeng, yang nggak pernah menyerah walaupun dikasih cobaan berlipat-lipat, yang sangat sabar sama adiknya. Yang aku lihat cuma Raina. Nggak peduli dia anak koruptor, lulusan SMA, atau keluarganya berantakan. Setiap orang punya latar belakangnya masing-masing, dan aku nggak peduli dengan itu."

"Nugi." Mataku memanas.

"Aku sudah minta izin sama Ayah untuk dekat sama kamu dengan cara yang benar. Dan Ayah menyerahkan semuanya ke kamu."

Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Jadi ini yang mereka bicarakan?

"Aku nggak maksa kamu terima perasaanku. Cukup kasih aku kesempatan untuk lebih mengenal kamu. Untuk menjadi salah satu bahu yang bisa kamu jadikan sandaran setiap waktu. Ya?"

Aku tahu aku belum mencintainya. Tapi terlepas dari semua yang terjadi, aku nyaman berada di dekatnya. Juga aman. Jadi apa lagi yang bisa kukatakan selain ini?

"Iya."

Nugi seketika berdiri. "Serius?" Matanya berbinar. "Nggak bohong?"

Aku cemberut. "Aku bukan tukang bohong seperti kamu."

Dia tertawa kecil. "Terima kasih, Mbak Rain."

"Nugi!"

Tawanya berderai. Dia mengambil sebelah tanganku, menggenggam erat dan menggoyangkannya seperti anak kecil. Aku tidak bisa untuk tidak ikut tertawa. Dia benar-benar kekanakan. Tidak apa, Rain. Dengan begitu, kamu bisa tersenyum. Mari berikan kesempatan untuk hatimu bahagia, setelah hari-hari berat kemarin.

***

Yes, udah selesai. Thank youuuuuuu ❤️🤗🤗🤗❤️

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang