SA 6

820 109 5
                                    

Selamat membaca ❤️
.
.
.

Waktu berlalu dengan cepat tanpa disadari. Tanpa terasa sudah dua bulan aku dan Kinan menumpang tinggal di rumah Paman, rumah yang sedikit lebih kecil daripada rumah kami. Sebuah ruangan berukuran 3 x 3 meter yang tadinya digunakan untuk menyimpan barang-barang tak terpakai, diberikan Tante Eni sebagai kamar tidur kami berdua.

Ruangan itu di sudut belakang rumah, menghadap ke kolam ikan yang terletak halaman belakang. Setelah dibersihkan, ruangan itu memang bukan tampak seperti gudang lagi namun seperti kamar tidur pada umumnya. Dengan sebuah kasur berukuran 2 x 1,5 meter yang diletakkan di lantai dan sebuah lemari kecil, kamar itu cukup untuk istirahat kami berdua. Aku cukup bersyukur, meskipun tetap ada ganjalan dalam hatiku yang tak bisa kuabaikan sejak kami tinggal di rumah itu.

Sebenarnya sebab rasa tidak nyaman itu sudah jelas sekali, jika aku mau memperhatikannya. Yaitu sikap orang-orang di rumah itu, terutama Tante Eni. Ketakutanku sepertinya benar-benar terjadi. Bukan kepada Kinan, tapi kepadaku. Itu bahkan kusadari sejak hari pertama kami menginjakkan kaki di rumah itu.

Sikap Tante sangat tak acuh, hanya menegurku saat benar-benar ada hal penting yang harus dibicarakan. Sangat beda jauh sikapnya dengan Kinan yang bahkan dipeluknya erat seolah benar-benar sangat merindukan adikku itu. Edo juga tampak dingin, hanya basa-basi menyapa saat kami berpapasan saja. Dia jarang ada di rumah, lebih sering boarding di kampusnya.

Naya yang sebaya dengan Kinan masih tetap seperti dulu, sering bertanya ini itu terutama soal pelajaran. Pun Vina yang saat ini sudah menginjak kelas enam SD, tetap ramah dan memperlakukanku seperti kakak perempuan. Hanya dua anak itu saja yang tampak membuka tangan sejak aku datang, mungkin karena mereka belum paham apa yang terjadi. Paman tampak berusaha mengakrabkan diri denganku, tapi aku sudah terlanjur jadi sangat pendiam di rumah itu sehingga aku sengaja menjaga jarak. Bagaimana aku bisa akrab dengan bebas jika mereka sendiri menciptakan jarak untukku?

Meski kami diberi makan tidak dibeda-bedakan dengan anak-anak mereka, tapi rasa tidak nyaman itu semakin besar. Beban hati yang kualami membuat aku berkali-kali berpikir untuk pergi saja dari rumah itu. Tapi setiap kali aku melihat Kinan yang tampak senang dan lebih ceria saat bercengkerama dengan Naya juga Vina, aku kembali berpikir ulang.

"Tidak masalah hatiku terbebani, asalkan Kinan bisa tersenyum dan bahagia lagi seperti semula."

Itu yang selalu dibisikkan hati kecilku, membuatku tidak bisa berkutik. Apalagi dua minggu yang lalu Paman berhasil membujuk Kinan untuk kembali masuk sekolah, yang akhirnya dituruti olehnya meski dua tidak ingin bersekolah di sekolah yang lama. Paman akhirnya mengurus kepindahan sekolah, dan memasukkannya ke sekolah yang sama dengan sekolah Naya. Dan baru beberapa hari ini aku melihat lagi semangat gadis itu untuk belajar.

Itu semua tak luput dari perhatian Naya yang sangat tulus mendukung adikku baik di sekolah maupun di rumah. Dan lagi-lagi aku berpikir, demi mengembalikan keceriaan Kinan, aku tak masalah menahan beban ini sendirian. Aku mengalah pada hati kecilku.

Dua bulan ini bukan kugunakan untuk berleha-leha, memanjakan kesedihan yang melanda. Aku sudah mengatakan bukan, bahwa waktu tidak akan menunggu kita menyembuhkan luka dahulu baru ia akan kembali berputar? Waktu tidak akan pilih kasih baik kepada orang yang sedang susah maupun senang, sehingga aku tetap harus menghadapi hidup meski berkali-kali rasanya ingin melarikan diri ke tempat sunyi yang tak bisa dijangkau siapapun dan apa pun termasuk rasa sakit. Egoku mendorong agar aku melakukan sesuatu, agar secepat mungkin bebas dari bantuan keluarga Paman.

Itulah kenapa dua hari setelah aku tinggal di rumahnya itu, aku kesana-kemari mencari pekerjaan. Mencari lowongan pekerjaan entah dari koran, media sosial, atau BKK. Berkali-kali juga aku mengirimkan CV, berharap salah satu perusahaan itu ada yang mau mengirimiku panggilan wawancara. Tapi yeah, hidup itu ternyata lebih keras daripada yang aku bayangkan. Untuk yang hanya memiliki ijazah SMA sepertiku, tentunya sangat sulit mendapatkan pekerjaan.

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang