SA 5

849 96 0
                                    

Selamat membaca ❤️
.
.
.

"Mbak...." Kinan masih menyandarkan kepalanya di bahuku, yang hanya kubalas dengan usapan di kepalanya.

Langit kali ini cukup cerah, namun justru aku malah merindukan tangisnya yang sering membuatku bebas untuk mengeluarkan air mata. Kadang hujan memang menyelipkan kesedihan saat ia datang bersama petir atau angin kencang, namun ia lebih sering menemaniku dalam tangisan. Ia lebih bersahabat daripada sahabat-sahabat yang sering digembar-gemborkan oleh anak cucu Adam. Ya, bersahabat dengan bukan manusia ternyata lebih aman.

Mendesah lelah, aku menatap jalanan yang ramai oleh kendaraan berlalu-lalang. Bukan kendaraan-kendaraan itu yang jadi fokusku, melainkan apa yang menjadi mimpi buruk selama dua setengah bulan terakhir ini seperti terpampang nyata di depanku. Memaksaku menyaksikan kembali adegan per adegan yang membuat kami rapuh.

Hidupku hampir mencapai titik terendah, sekarang. Raib. Semuanya telah hilang dan terenggut bersama kekhilafan Ayah, yang tentu saja membuatku kecewa berat. Seminggu yang lalu sidang terakhir Ayah sudah dilakukan, dan kemungkinan buruk itu benar-benar terjadi. Sejak awal aku memang sudah menyiapkan diri agar tetap tegar saat kemungkinan buruk itu datang, tapi tetap saja saat hal itu datang aku tak sanggup menahan hatiku agar tak retak.

Ayah divonis hukuman tujuh tahun penjara, dan denda sebesar seratus juta rupiah. Rumah kami benar-benar disita, yang artinya kami harus terusir dari rumah kami sendiri. Tanah yang digunakan Ayah untuk membangun minimarket—yang sudah lebur terbakar oleh orang-orang tak bertanggung jawab—dijual untuk membayar denda yang dibebankan pada Ayah.

Tak ada yang tersisa dari semua yang kami miliki selama ini. Kehilangan itu lagi-lagi harus kuakui, menyakitkan. Entah itu kehilangan harta, terlebih lagi nyawa orang-orang yang kita sayangi.

Dulu aku sama sekali tidak pernah berpikir—dalam mimpi sekali pun—bahwa kehidupan kami akan berada di jeruji roda yang rendah. Setidaknya hidup kami lumayan di atas kecukupan, sehingga tak pernah aku membayangkan bagaimana bingung dan susahnya mencari tempat tinggal. Rumah Ayah adalah tempat ternyaman yang bisa melindungiku dari kepahitan dunia yang seringkali aku hindari.

Lalu sekarang saat sudah lebih dari tujuh jam kami hanya duduk termangu di depan sebuah toko yang tutup, aku baru menyadari bahwa selama ini aku sudah bersikap apatis akan kehidupan sosial di luar.

Meskipun aku bukan orang yang akan bersikap sesombong itu kepada orang lain, tapi juga bukan orang yang cukup ramah kepada orang-orang yang bukan orang terdekatku. Aku akui itu. Aku bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah dan di rumah, hanya dua tempat itu yang menjadi tempatku menghabiskan hari. Itu sebabnya aku menjadi pribadi yang cukup tertutup dan sering disebut antisosial.

Bahkan dulu saat SMA, aku lebih sering disindir sebagai 'gadis jutek', 'gadis dingin', dan sebagainya. Mereka tidak tahu saja kalau aku melakukan itu bukan karena aku tidak ingin dekat dan beramah tamah dengan mereka, tapi aku hanya ingin melindungi hatiku agar tak menjejak pada lingkungan sosial yang menurutku akan kejam jika kita masuk terlalu dalam.

Itu karena orang-orang terdekat Ayah dulu banyak yang sering bersikap sok manis saat di depan keluarga kami, namun akan berubah seratus delapan puluh derajat saat ada di belakang kami. Cukup sering Ayah mengalami pengkhianatan oleh orang-orang yang dia anggap sahabat, namun ternyata mendekatinya hanya untuk kepentingan pribadi. Aku cukup tahu itu, saat tak jarang aku menyaksikan secara diam-diam dia beradu pendapat dengan teman-temannya itu. Dan berakhir dengan pengkhianatan.

Sekarang aku merasa bodoh karena setelah menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan teman-temannya, aku bahkan sempat memutuskan untuk membuka hati dengan Luna dan Sarah untuk bersahabat. Namun nyatanya mereka sama, menjauh saat aku butuh rangkulan. Sekali lagi, aku harus menanamkan dalam otakku bahwa kata sahabat memang hanya omong kosong belaka.

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang