SA 16

626 86 9
                                    

Selamat membaca ❤️
.
.
.

"Ayo," ucapku lalu meraih tangan Kinan dan mengajaknya masuk ke halaman rumah singgah. Melirik genggaman tangan kami, aku tersenyum lebar. Setidaknya Kinan tidak lagi menolak untuk kugenggam.

Matahari sudah terbenam saat aku dan Kinan sampai di kontrakan. Ya, aku mengajak Kinan mampir ke kontrakan dulu sebelum nanti Edo akan menjemputnya. Jujur, tadinya aku khawatir Kinan tidak akan mau menghabiskan waktu bersamaku setelah menemui Ayah tadi. Ternyata Kinan tidak berkata apa-apa, tapi tetap ikut naik ke bus yang menuju ke halte dekat tempat tinggalku. Aku cukup bersyukur, meskipun sikapnya masih dingin tapi Kinan tak lagi seabai itu padaku.

Baru beberapa menit sampai di kontrakan, Aina mengirim pesan menyuruhku datang ke rumah singgah karena mereka mengadakan syukuran kecil-kecilan merayakan kelulusan mereka setelah sidang.

Dan di sinilah kami sekarang, menghampiri anak-anak juga beberapa mahasiswa yang sedang asyik membakar daging dan otak-otak. Setelah semua yang terjadi dan juga kesalahpahaman itu, aku ingin lebih mengenalkan lingkungan tempat tinggalku kepada Kinan. Meskipun dia tidak akan tinggal denganku tapi aku ingin Kinan sesering mungkin menghabiskan waktu bersamaku. Dan mengajaknya berkenalan dengan penghuni rumah singgah adalah satu langkah awal yang tidak terlalu buruk, bukan?

"Mbak Rain, dia siapa?" Gita yang baru menyambut kami, langsung memandangi Kinan dengan kening berkerut.

"Ini Kinan, adiknya Mbak."

Gita—yang seumuran dengan Kinan— mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar. "Halo, aku Gita."

"Kinan," jawab Kinan sambil membalas uluran tangan Gita.

"Aku kenalkan sama teman-teman di sini yuk," ajak Gita sumringah.

Kinan tampak menggerakkan mata ke kiri dan ke kanan. "Tapi–"

"Mereka baik semua kok. Ayo, aku maksa loh." Gita menarik lengan Kinan tanpa membiarkan Kinan melanjutkan ucapannya.

Masih berjalan pelan ditarik Gita, Kinan menolehkan kepalanya ke arahku tanpa senyum. Namun aku tahu dia bertanya melalui tatapan mata. Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Kinan tampak pasrah mengikuti Gita, menghampiri anak-anak yang berkumpul mengerubungi api unggun yang baru dibuat oleh Adri dan satu temannya.

Aku memilih duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga, tempat favorit yang sayangnya hanya aku yang memfavoritkannya. Kepalaku mendongak, menatap gugusan bintang yang membentuk berbagai macam rasi di langit malam. Bulan tanggal empat belas bersinar anggun terhalang helai-helai daun mangga. Hujan memang sedang beristirahat di tempatnya, tapi aku tetap bisa merasakan ketenangan lebih daripada malam-malam sebelumnya. Setidaknya hatiku kini mulai membaik.

"Hei, Rain."

Sapaan itu membuatku menoleh, lalu tersenyum pada Aina yang menghampiriku dengan sepiring otak-otak di tangannya. Gadis itu mengambil duduk tepat di sebelahku.

"Selamat atas kelulusan kalian," ucapku, mengulurkan tangan kanan padanya.

Aina tertawa sambil menjabat tanganku. "Terima kasih," Aina menyerahkan piring di tangannya padaku. "Untuk Mbak Rain."

Aku menerimanya tanpa menghilangkan senyum yang tersungging di bibirku. "Terima kasih."

"Oh iya, itu adikmu kan?" Aina menunjuk ke arah Kinan yang tampaknya mulai akrab dengan teman-teman barunya. Yeah, sudah kukatakan bukan kalau Kinan itu mudah berbaur dengan orang-orang yang baru dia kenal?

"Iya, itu Kinan. Satu-satunya adik yang kupunya."

"Dia sepertinya anak yang easy going. Gampang akrab gitu, nggak seperti kakaknya." Aina tertawa setelah mengucapkan kalimat terakhir yang jelas-jelas meledekku itu. Aku pura-pura mendengus kesal, yang mana malah membuat gadis di sebelahku tertawa makin keras. "Kamu tahu kan maksudku?" tanyanya, mengerling jahil.

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang