SA 15

577 90 17
                                    

Selamat membaca ❤️
.
.
.

'Mbak Rain besok Minggu temani Kinan ketemu Ayah, ya.'

Aku tidak tahu reaksi seperti apa yang bisa kutunjukkan setelah membaca pesan dari Kinan, dua hari yang lalu.

Ini sungguh kejutan. Pertama, sejak pertengkaran, perdebatan atau apalah itu, baru kali ini dia mau berkomunikasi denganku. Kedua, ini juga kali pertama Kinan mau menghubungiku lebih dulu setelah hubungan kami yang merenggang selama setahun lebih. Dua hal itu menciptakan sebuah letupan kecil dalam hatiku, sebuah kelegaan luar biasa yang kurasakan saat dalam perjalanan pulang dari tempat kerja tepat setelah menerima pesan itu.

Namun juga ada kekhawatiran tersendiri, tentang Kinan yang ingin bertemu Ayah. Aku tahu berpikiran negatif itu sangat tidak baik, tapi tetap saja aku tidak bisa mengenyahkan sepenuhnya dari pikiran. Maksudku, dalam pesannya dia hanya mengatakan ingin bertemu Ayah. Tapi dia tidak mengatakan ingin melakukan apa, bertemu untuk apa.

Sebuah kejutan bahagia kalau memang dia ingin bertemu karena sudah memaafkan Ayah. Tapi kalau ternyata yang dia inginkan malah sebaliknya? Terang saja sejak kasus itu terjadi, dia sama sekali belum bertemu atau berbicara dengan Ayah. Aku takut kalau dia hanya ingin menumpahkan segala kebenciannya, dan juga membentak-bentak Ayah layaknya anak yang sudah lama dikecewakan. Jika itu terjadi pun, aku tidak akan mengatakan kalau dia bersikap salah. Itu sudah wajar, bukan? Hanya masalahnya, apa aku akan kuat melihatnya? Melihat ekspresi terluka Ayah lagi?

Dan di sinilah aku Minggu pagi ini. Duduk di halte menunggu bus yang akan membawaku ke rumah Paman untuk mengajak Kinan bertemu Ayah. Entah apa yang dia inginkan saat pertemuannya dengan Ayah, aku tetap harus siap untuk menghadapinya.

"Rain!"

Aku mendesah, menoleh pada gadis yang berdiri di samping sebuah sedan hitam. Seperti biasa gadis yang selalu menghantuiku selama seminggu belakangan ini, akan selalu memasang senyum selebar mungkin hingga matanya membentuk garis lurus dan dua lesung muncul di pipinya.

Sesuai dugaan, aku benar-benar kalah dengan ekspresi memelas campur menggemaskan gadis itu. Tapi aku tidak mau dia berbangga hati sehingga aku tetap berpura-pura tidak acuh, meski dengan cueknya dia seperti tidak mempermasalahkan sikap pura-pura dinginku.

"Rain kok bengong sih?" Luna kini mendekat, memosisikan tubuhnya tepat di depanku hingga pandanganku ke jalan terhalang olehnya.

"Apa?" tanyaku, masih sok mengeluarkan nada dingin.

Luna tersenyum lebar. "Kata Mamak, kamu mau ketemu Kinan ya? Aku antar, ya?"

"Tidak. Aku naik bis."

"Yaah Rain kok begitu? Naik mobilku saja, ya?"

Aku menggeleng tegas. Benar-benar gadis ini! Gencar sekali usahanya untuk dekat denganku lagi.

"Aku juga mau ketemu Kinan. Kan sudah lama aku nggak ketemu dia."

Aku tetap menggeleng.

"Raiiiin!" Luna mulai mendekat dan menggoyang-goyangkan lenganku.

"Apa?" tanyaku jengah.

Luna memasang puppy eyesnya lagi yang membuatku mendengus. "Ayo aku antar saja."

"Aku tidak-"

"Nggak terima penolakan!" potong Luna tegas sembari menarik lenganku lalu mendorong tubuhku masuk ke dalam mobilnya.

Percayalah, sejak aku dirawat di rumah sakit, tak terhitung jumlahnya aku harus berakhir kalah oleh sikapnya. Aku heran, hilang ke mana ekspresi sendu yang dia tunjukkan saat pertama kami bertemu lagi?

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang