SA 2

1.1K 136 7
                                    

Selamat membaca ❤️
.
.
.

Hujan selalu menyimpan seribu satu alasan di balik kedatangannya. Kadang hujan berniat menyembunyikan air mata yang menetes, dengan cara menyelimuti wajah kita dengan tetes-tetes airnya agar tak seorang pun menyadari bahwa ada air mata menghiasi wajah kita. Kadang ia berniat menyampaikan sebuah irama agar kita dapat tenggelam ke dalam lagu menenangkan miliknya, lalu kita akan sejenak lupa dengan beban hidup.

Kadang juga ia hanya berniat menanti doa kita, agar selanjutnya dapat ia sampaikan pada malaikat yang akan membawanya kepada Tuhan. Kadang alasan-alasan itulah yang justru tanpa manusia sadari, telah menguatkan serta menyamarkan kita dari rasa sakit. Dengan cara itulah hujan bersikap sebagai sahabat.

Kota ini juga diguyur hujan saat aku berada di halte, menunggu kedatangan bus yang akan mengantarkanku menuju tempat tujuan. Sidang kasus Ayah dan rekan-rekannya sudah dilakukan dua kali, tapi aku sama sekali belum berani untuk datang. Katakanlah aku sudah durhaka karena tidak bisa berada di sisi Ayah selama sidang berlangsung, tapi memangnya apa yang bisa kulakukan? Usiaku baru jalan di angka dua puluh, dan jangan salahkan aku jika untuk masalah ini aku kurang bisa bersikap dewasa dan bijak.

Lagipula pikiran egoisku selalu berbisik, meremehkan dengan mempertanyakan apa yang bisa kulakukan untuk membantu kekasih pertamaku di dunia itu? Bahkan dari berita-berita di media massa maupun cetak, mengabarkan bahwa Ayah sama sekali tidak mengelak dari tuduhan terhadapnya.

Beri tahu aku, bisa apa aku kalau sudah begitu? Aku kecewa? Tentu saja. Aku marah? Pasti. Aku benci pada Ayah. Karena itu aku juga tidak tahu akan berbicara apa saat nanti sudah siap bertemu Ayah lagi.

Kinan makin pendiam belakangan ini, namun aku maklum mengingat usianya baru dua belas tahun. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikan keceriaannya seperti semula, karena bahkan aku saja juga sudah berbeda. Jika bisa aku juga ingin bersikap seperti Kinan, dengan marah juga kesal pada dunia. Menutup mulut kepada orang-orang di sekitarku, marah secara buta bahkan kepada orang yang sama sekali tidak bersalah.

Tapi aku sadar, aku tak bisa seperti itu. Hidup punya aturannya sendiri, bukan? Sejak Ayah pergi, maka secara tidak langsung tanggung jawab atas Kinan terlimpah kepadaku. Aku harus memastikan keadaannya baik-baik saja, menguatkannya dengan segala kalimat penuh hiburan dan semangat meski kalimat-kalimat itu sebenarnya juga kurang mempan untuk menyembuhkan hatiku sendiri. Tapi sekali lagi, aku terpaksa harus memasang topeng jika di depan Kinan atau Bibi.

Sebuah bus berhenti di depan, dan aku dengan tergesa-gesa naik bersama beberapa orang yang memang sedari tadi juga ikut menunggu kedatangannya. Aku memilih duduk di bangku kosong yang terletak di urutan kedua dari belakang dekat jendela, kemudian menepuk-nepuk kemejaku yang basah karena terkena air hujan tadi.

Tepat saat bus kembali berjalan, aku mendengar bisik-bisik penumpang di bangku belakang. Ngomong-ngomong jika aku boleh jujur, suara mereka sama sekali tidak terdengar seperti berbisik.

"Bu, bukannya dia putrinya Pak Indra yang korupsi itu ya?"

"Yang mana, Bu?"

"Itu loh di depan kita. Perempuan yang pakai baju biru itu."

"Oh, itu putrinya Pak Indra? Kasihan ya Bu, bapaknya dipenjara."

"Iya, dulu mobilnya banyak dan mentereng. Punya minimarket yang ramai. Hidupnya mewah. Nah sekarang pas sudah ketahuan busuknya, ujung-ujungnya naik bis juga. Jadi rakyat biasa."

"Tapi kasihanlah Bu anaknya. Karena kelakuan bapaknya, anak-anaknya jadi ikut susah."

"Kenapa kasihan? Itu namanya karma. Zaman sekarang kan yang namanya karma itu tidak usah menunggu lama-lama. Tahu tidak, Bu? Anaknya Pak Indra yang nomor dua, dia kan teman sekolah anak saya. Anaknya sombong, Bu. Tidak pernah mau campur dengan anak-anak miskin.

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang