SA 3

981 128 9
                                    

Selamat membaca ❤️
.
.
.

Matahari sudah beranjak turun saat aku sampai di tempat Ibu beristirahat untuk terakhir kalinya. Langit yang seharian ini cerah ceria, kali ini tak nampak menjingga namun malah lebih ke warna hitam. Mendung menyelimuti wajahnya, membuatnya hampir menangis lagi. Suara cicit burung yang berpulang ke peraduan mereka, tak menyurutkan langkahku menemui Ibu. Ada kerinduan yang teramat besar, hingga aku memutuskan untuk pergi tanpa memberitahu Kinan yang masih mengurung diri di kamarnya. Namun aku tidak perlu khawatir karena aku sudah pamit dengan Bibi.

Indriyani. Nama itu yang terukir pada batu pipih di depanku. Nama yang menentramkan hati, membuatku rindu untuk memeluk tubuh hangatnya. Ah, seandainya Ibu tahu betapa aku ingin sekali bertemu dengannya dan menumpahkan segala beban yang memenuhi dadaku hingga sesak. Andai Ibu tahu bahwa aku mulai muak dengan hidup yang kujalani tanpanya. Andai Ibu juga tahu kalau kepergiannya telah membawa sekeping hatiku yang lain, menjadikannya tak utuh lagi.

Aku ingin Ibu tahu bahwa aku sangat kecewa pada Ayah. Amat sangat kecewa hingga rasanya mau mati saja. Aku tidak sanggup menghadapi ini lagi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki hidup yang sudah dihancurkan oleh Ayah. Aku tidak tahu bagaimana harus membuat Kinan merasa bahagia kembali. Aku ingin melarikan diri namun seperti ada sesuatu yang kuat mencengkeram erat hingga aku tak bisa melangkah pergi.

Aku menghela napas berat sambil menatap sendu batu nisan itu kemudian mengusapnya lembut, sebelum mulai mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di atas gundukan tanah itu. Setelah bersih, kutaburkan kelopak bunga mawar yang sengaja kubawa dari rumah. Lalu kulantunkan ayat-ayat sebagai kiriman agar Allah memberikan tempat terindah untuknya di alam sana, sebagai tempat Ibu menanti kedatangan kami suatu hari nanti.

Ah, jika saja ini adalah drama maka mungkin aku akan berbicara panjang lebar di depan nisan Ibu dan menangis tersedu-sedu. Jika saja ini drama, maka aku ingin meraung-raung meminta Ibu kembali dan membantuku. Jika saja ini adalah drama, maka aku akan meminta sang sutradara untuk menghentikan adegan menyedihkan ini. Sayang, aku belum segila itu untuk berbicara sendiri di depan sebuah makam.

Hidup ini bukan drama, meski yang kualami memang sedrama itu. Tapi menjaga kewarasan adalah sebuah keharusan, bukan?

***

Butir-butir hujan mulai lebat saat aku sudah berada di dalam bus yang akan mengantarkanku menuju jalan pulang. Kali ini aku duduk di bangku paling belakang, dan di dekat jendela seperti biasa. Embun yang menitik di kaca jendela seolah melambai-lambai memintaku untuk menyentuhnya, dan aku tidak bisa menolak.

Ada gelenyar menyenangkan tiap kali telapak tanganku menyentuh kaca yang berembun itu, dinginnya mengaliri nadi membuat sebagian hatiku menghangat. Sesuatu yang dingin di luar bisa merambatkan sebuah kehangatan di dalam. Aneh, bukan?

Dua orang gadis remaja yang baru masuk menyita perhatianku. Mereka saling bercanda, membicarakan artis idola mereka dengan wajah berbinar. Mereka seperti sepasang sahabat yang saling menyayangi. Orang-orang yang melihat mereka pasti akan merasa iri karena keakraban mereka tampak seperti sahabat sejati.

Ah, sahabat. Sebulan yang lalu aku masih mempercayai adanya ikatan kuat antar sahabat. Saling menyayangi dan mencintai, melindungi dengan segenap tenaga agar sang sahabat tidak merasakan luka. Berjanji saling menggenggam tangan, melangkah menerobos kelamnya dunia yang kejam.

Tapi itu sebulan yang lalu, sebelum hujan datang bergandengan dengan angin topan. Kini bagiku kata 'sahabat' hanyalah omong kosong. Sebuah hubungan yang dibuat hanya karena terlarut oleh kasih sayang semu. Rasa sayang yang muncul di saat sedang berbahagia, namun akan terhempas begitu saja jika sudah mengalami duka.

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang