Twelve: Girl Upside Down

155 65 89
                                    

Semestinya aku lebih sering membaca majalah gossip seperti Cosmopolitan yang terkenal itu. Di sana ada tips & trick bagaimana cara meluluhkan hati para pria-pria berhati batu. Saking terkenalnya, tips itu bahkan ampuh untuk merayu serial killer supaya tidak jadi membunuhmu.

Walau sebetulnya aku yakin Hayden King lebih susah ditaklukan dibandingkan pembunuh berantai. Coba lihat saja dia—terlentang dengan anteng walaupun aku sudah tersenyum penuh pesona sampai gigiku kering. Kalau Jack yang melihat senyum cemerlangku ini, dia pasti sudah mimisan di lantai.

Cowok itu sama sekali tidak luluh. Malah, kedua mata gelapnya seakan berkata: Katakan kau menyesal. Ayo, katakan sekarang juga. Bahkan, merondanglah di lantai kalau perlu dan memohon di kakiku.

Kalau dia mau main-main denganku, aku juga bisa. Seorang Carberra tidak akan menyerah tanpa perlawanan!

"Maafkan aku sudah menyusup ke kamarmu seperti ini. Gak akan kuulangi lagi." Aku mendongak padanya dengan mata biruku yang kubuat berkaca-kaca. "Kuharap kau tidak mengadukanku pada Ella. Atau Dad..."

Cengiran di wajahnya perlahan-lahan memudar. Ia menatapku dengan alis bertaut bingung.

Ha! Eat that, King!

Aku menyembunyikan senyum dan melangkahkan kakiku ke balkon. Hujan yang deras sontak membasahiku, airnya menciprati wajah dan rambutku dengan kasar. Kucengkeram pegangan balkon erat-erat sebelum menoleh dengan ekspresi sesedih mungkin, "Sampai jumpa lagi, Hayden."

Hayden melebarkan matanya, "Kau serius mau lompat?"

Ho-ho! Lihat siapa yang kaget sekarang!

"Yeah." jawabku murung. Aku mengangkat sebelah kakiku, mengangkangi balkon. Tetesan hujan membasahi baju dan celanaku dengan cepat. "Semoga saja aku tidak mematahkan kakiku. Karena tahu, kan, Dad bakal sangat marah kalau sesuatu yang buruk menimpaku. Tidak ada satu orang pun yang mau membuatnya ngamuk."

Hayden menggigit bagian dalam pipinya, tampak menimbang-nimbang.

Ya ampun, sepertinya aku berhasil.

Kulancarkan kembali acting-ku yang gemilang, "Tapi, yah, dia tidak akan menyalahkanmu, sih. Memang sudah saatnya aku menanggung konsekuensi dari tindakanku sendiri, kan?"

Ekspresinya berubah. Ia terlihat galaw.

Kalau begini takkan butuh waktu lama sampai dia merangkak ke balkon dan meminta maaf. Malah, dua detik dari sekarang dia pasti menawarkan diri untuk mengantarku ke pondok.

Diam-diam aku membayangkan percakapan kami yang kira-kira akan berjalan seperti ini:

Hayden : (panik) Penny, turunlah dari sana! Itu bahaya!

Aku : (terisak) Kau yang menyuruhku lompat dari jendela meskipun sekarang hujan deras!

Hayden : (menunduk malu) Tidak, aku tidak serius. Maafkan aku. Ayo, turunlah Penny..

Aku : (berkaca-kaca) Sungguh? Kau janji tidak akan menyuruhku lompat dan jalan nyeker ke pondok?

Hayden : (berlutut) Tidak, pen, aku bersumpah. Turunlah dan biar aku yang membopongmu ke pondok supaya kakimu tidak lecet. Maafkan ketololanku, ya?

Aku : (tersenyum rendah hati) Baiklah kalau kau memaksa. Kumaafkan ketololanmu.

Hayden menyeringai, "Lompatlah, Summers."

"Baiklah kalau kau memaks—"

Tunggu. Tunggu sebentar. Apa katanya tadi?

Lompatlah Summers? LOMPATLAH SUMMERS?

Wanna Be Where You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang