Eleven: The Rude Guy In Room 14th

162 64 151
                                    

Aku mencengkeram hairdryer ku erat-erat. Mataku yang mulai terbiasa dengan gelap bisa menangkap gerakan ular itu yang mengangkat kepalanya, mendesis sambil sesekali menjulurkan lidah.

Aku tidak tahu bagaimana orang-orang di National Geographic Wild bisa tetap tersenyum pada kamera saat dipelototi kobra, tapi aku tidak setolol itu. Aku menjerit dan berlari terbirit-birit ke pintu. Kalau sebelumnya aku cuma menggedor dengan tangan, kini aku ikut menggedor dengan kaki dan hairdryer ku.

"TOLONG!! Keluarkan aku dari sini!" kutinju pintu dengan brutal, "Please!! Siapa pun tolong aku!"

Si ular mendesis lagi, terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Aku memelototi lantai dengan ngeri, takut bila tiba-tiba ular itu merayapi kakiku. Setengah ling-lung dan seratus persen histeris, aku cepat-cepat menjauh dari pintu dan memanjat westafel, mengangkat lututku ke dada.

"T-tolong!! Please!" Aku menghapus air mataku yang mulai mengalir, "Keluarkan aku."

Aku menjerit lagi dan lagi. Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Dua jam? Tiga? Yang kutahu dadaku terasa sesak dan aku tidak akan bisa tetap waras kalau terjebak di tempat gelap ini lebih lama lagi.

"Hayden!! Ella!" pekikku senyaring mungkin. Entah untuk yang keberapa kalinya. Suaraku bergetar dan mulai soak. Tenggorokanku kering. Seluruh tubuhku berkeringat. Jantungku bertalu-talu di tenggorokanku, apalagi ketika dalam kegelapan kulihat kepala kobra itu meliuk-liuk di lantai di bawahku, tepat di depan westafel.

"P-please.." Aku tersedak air mataku sendiri dan tidak bisa berhenti menangis. Kobra itu menoleh kearah sumber suara (aku) dan mulai mengangkat kepalanya lagi, perlahan-lahan meliuk-liukkan lehernya di udara. Lidah berbisanya terjulur, membuatku tidak berani bernapas.

Inilah akhirnya. Ya tuhan, ternyata beginilah aku akan mati. Di suatu wc bau pesing di antah berantah. Semoga kematianku cepat, jadi aku tidak perlu merasakan saat ular itu mengunyahku dan—

"Ada seseorang di dalam?"

"MILES?!" Jantungku seperti berhenti. "MILES!! AKU DISINI! TOLONG!! DISINI ADA ULAR!!"

"Ya Tuhan! Tunggu sebentar, Pen!" Hening sejenak, "Cliff! CLIFF!! Mereka disini! Penny dan Becky!"

Terdengar bunyi kunci bergemerincing dari luar sana. Lalu seperti sebuah keajaiban, lubang neraka ini terbuka dan kulihat Miles berdiri dengan Cliff di pintu, tampak ngos-ngosan dan berantakan.

"Ya ampun, aku mencarimu kemana-mana! Kukira kau kabur, tapi samar-samar aku sempat dengar suaram—" Miles tidak pernah melanjutkan kata-katanya. Aku sudah keburu lompat dari westafel dan berlari menaiki punggungnya, melingkarinya seperti gurita dengan kakiku menjepit pinggangnya.

Aku menunjuk ular di lantai dengan histeris. "U-ular itu seram banget!!"

"Becky!" Cliff—si pria berbulu di kolam—berlutut di depan si kobra dan mengangkat kobra itu ke lehernya. "Kau baik-baik saja, baby girl? Apa dia menyakitimu?" Cliff melayangkan tatapan menuduh padaku sambil mengusap kepala si kobra.

Dia gila, ya? Bagaimana bisa aku menyakiti monster itu? Mengeringkan matanya dengan hairdryer?

"Jauhkan dariku! Jauhkan!" aku menjerit ketakutan saat Cliff berjalan keluar sambil menenteng si kobra.

"Relax." Kata Miles menenangkan, tapi tetap memutar tubuhnya sehingga kini dia menjadi bentengku dari si monster hitam. "Becky jinak."

"Aku tidak peduli!!" raungku lagi, "Dia mau menelanku hidup-hidup!"

Cliff menggeleng tidak terima, "Dengar ya, yang menjadi korban disini adalah Becky. Dia tidak pernah pergi ke alam liar. Kini dia pasti benar-benar terguncang." Cliff mengecup si kobra, "Bagaimana kau bisa kabur, baby girl? Aku ingat mengunci kandangmu rapat-rapat."

Wanna Be Where You AreWhere stories live. Discover now